Menjelang pemilu banyak calon pemimpin Indonesia yang tampil. Baik melalui media cetak, elektronik, maupun di dunia maya dan di acara-acara lain seperti silaturahmi, dan seminar di kampus, maupun di masyarakat. Sebagai warga Indonesia yang baik, warga Aisyiyah dan Muhammadiyah akan menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2014 sebagai wujud dari tanggungjawab untuk menentukan masa depan Indonesia.
Jika dicermati visi dan misi para calon pemimpin di setiap acara, semuanya hampir sama banyak yang menggunakan slogan-slogan klise yang sulit terwujud. Sebagai pemilih yang cerdas dan bertanggungjawab, warga ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah perlu untuk memahami karakter pemimpin yang diinginkan.
Hakikat Pemimpin
Memimpin pada dasarnya tidak hanya merupakan kontrak sosial antara pemimpin dengan yang memilihnya (hablum minannas), tetapi lebih dari itu pemimpin juga mempunyai dimensi Ilahiyah (hablum minallah). Kontrak politik antara masyarakat dengan pemimpin biasanya diawali pada saat kampanye dengan menggunakan strategi silaturahmi, pemberian bantuan, maupun pembagian hadiah, kaos dan cendera mata lainya. Sah-sah saja menerima silaturahmi dan juga cendera mata calon pemimpin. Namun kita tetap harus berfikir kritis kepadanya. Kita tidak perlu memilih dia, kalau memang dalam kenyataan dia pemimpin yang tidak muqsit dan zalim.
Sedangkan implementasi kontrak politik antara pemimpin dengan Tuhan dapat berupa pemahaman bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah dari Tuhan untuk menciptakan kemakmuran, perdamaian, keadilan dan kecerdasan (intelektual, social, spiritual) masyarakatnya. Ikatan perjanjian antara pemimpin dengan Tuhan ini sesuai dengan Q. S. Al-Baqarah (2): 124, yang artinya:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat perintah dan larangan (amanat), lalu Ibrahim melaksanakannya dengan baik. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya: Dan dari keturunanku juga (dijadikan pemimpin)? Allah swt menjawab: Janji (amanat)Ku ini tidak (berhak) diperoleh oleh orang zalim”.
Bentuk implementasi lain akan nilai ilahiyah pada kepemimpinan misalnya bagaimana menghadirkan konsep ihsan dalam segala aktifitas. Sehingga karena selalu meyakini bahwa Allah senantiasa mengawasi semua aktifitas kepemimpinannya maka seharusnya seorang pemimpin akan selalu menjaga integritasnya (akhlakul karimah). Sayangnya dewasa ini masih banyak pemimpin yang lebih takut dengan KPK daripada dengan Tuhan-Nya. Walaupun itu lebih baik daripada tetap korupsi.
Hakikat pemimpin juga dapat dimaknahi bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menjadi pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri. Keadilan adalah sifat yang melekat pada diri pemimpin. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak, tanpa melihat kelompok-kelompok sosial yang ada seperti agama, etnis, budaya, jenis kelamin, dan latar belakang ekonomi. Hal ini didasarkan pada Q.s. Shad (38): 22, “Wahai Daud, Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi, maka berilah putusan antara manusia dengan hak (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”.
Dilihat dari perspektif keadilan gender, saat ini sudah banyak kemajuan dibanding pada awal 90an yang mana saat itu masih banyak kalangan yang menafsirkan text agama yang merugikan perempuan. Padahal kalau dilihat dari sejarah kepemimpinan dalam Al Qur’an, Allah mengakui kehebatan, kearifan, kecerdasan Ratu Bilqis. Bahkan dalam Q.s. Saba (34);15 disebutkan sebagai sebagai negara yang baldatun toyibatun warobbun ghofur. Al Qur’an Surat An Naml (23) 32-35,44 menunjukkan bahwa Ratu Bilqis adalah seorang ratu yang demokratis (melibatkan pembesar lain dalam memutuskan perkara), bijaksana (tidak mau mengorbankan rakyat dan memperlakukan lawan politik secara terhormat) serta cerdas, terbuka dan religius (cerdas dan mudah menerima kebaikan sehingga dengan dia berpindah dari menyembah matahari menjadi beriman pada Allah).
“Dia (Balqis) berkata,”Wahai para pembesar! Berilah aku pertimbangan dalam perkaraku ini (Balqis menerima dan membaca surat dari Nabi Sulaiman AS tentang ajakan untuk berserahdiri kepada Allah SWT). Aku tidak pernah memutuskan suatu perkara sebelum kamu hadir dalam majelisku”. Mereka menjawab,”Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa (untuk berperang), tetapi keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan” (Q.S An Naml: 32-33).
“Dia (Balqis) berkata,”Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; … Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan itu.” (Q.S An Naml: 34-35)
“Dia (Balqis) berkata,” Ya Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim terhadap diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (Q.S An Naml: 44)
Pemimpin Muqsit
Kriteria utama pemimpin adalah muqsit yaitu pemimpin yang adil, bijaksana dan juga seksama. Untuk meraih pemimpin yang muqsit seseorang harus mempunyai pandangan yang luas (visioner), merasa setara dengan rakyat, tidak eksklusif (menganggap dirinya yang paling penting dan paling tinggi). Pemimpin visioner yang merasa setara dengan rakyat mengandung arti bahwa pemimpin itu harus mempunyai kemauan untuk memberikan solusi terhadap masalah rakyat. Hal ini senada dengan Q.s. Al-Anbiyaa’(21): 73, “Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat”.
Perbuatan-perbuatan baik adalah langkah-langkah solutif akan masalah yang dihadapi oleh umat. Jika kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin, maka dengan sendirinya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan mudah tercapai. Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Dengan kata lain, tidak sekedar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi mampu mempraktikkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. Sedangkan tahan diejek dan siap diejek mengandung arti kesabaran dan ketabahan sebagaimana ditegaskan oleh Al Qur’an Surat As-Sajdah (32): 24 “Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah” Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Dulu K.H. Ahmad Dahlan awalnya juga banyak mendapatkan ejekan, karena beliau melakukan sesuatu yang dipandang masyarakat ‘lucu’ atau tidak umum. Karena itu seorang pemimpin harus berani ‘tampil beda’, tapi jangan sekedar tampil beda yang tanpa makna.
Disamping harus Muqsit, kriteria minimal pemimpin tersimpul juga pada sifat wajib para nabi/rasul yaitu: shidiq, amanah, tabligh, fathonah. Shidiq yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Kebenaran harus diungkapkan oleh pemimpin walau dampaknya pahit bagi sekelompok orang. Kriteria ini menuntut adanya penolakan akan kebohongan publik. Seorang yang hanya janji saat kampanye dan tidak ada bukti saat sudah jadi pemimpin termasuk yang tidak masuk kriteria ini. Amanah, yaitu dapat dipercaya. Artinya seorang pemimpin adalah orang yang dapat dipercaya untuk mewujudkan masyarakat yang terdidik, damai, bermartabat dan adil. Karena itu seorang pemimpin harus mempunyai kredibilitas etika yang sudah teruji di masyarakat. Fathonah, yaitu kecerdasan, kecakapan memimpin dan managerial. Kecerdasan tidak hanya intelektual, tetapi juga kecerdasan sosial, emosi, maupun spiritual. Seorang pemimpin yang mempunyai kecerdasan emosi dan sosial yang bagus maka akan dengan sendirinya mempunyai sifat terbuka, menghargai perbedaan serta tidak memperlakukan dirinya sebagai ‘tuhan’ untuk menghakimi orang yang mempunyai perbedaan keyakinan ataupun pemikiran. Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya. Aspek ini juga mencakup akuntabilitas dan transparansi semua kegiatan, anggaran serta sumber-sumber dana yang digunakan. Seorang pemimpin harus mempunyai kepekaan dan tanggung jawab untuk berbagi dengan yang dipimpin terkait sumber-sumber dana yang dapat diakses, juga informasi-informasi penting lainnya.
Akhirnya, marilah kita gunakan hak pilih kita untuk mencari pemimpin yang muqsit dan juga mencerminkan sifat-sifat kenabian. Semoga tahun 2014 ini akan menjadi tonggak perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik, baldatun toyyibatun warobbun ghoful. Amin Ya Robbal’alamin.
(Diterbitkan di Suara Aisyiyah Edisi 2 Th. Ke-91 Februari 2014)