Pernyataan Presiden Perancis dalam merespon terbunuhnya seorang guru, setelah membicarakan kebebasan berekspresi termasuk dalam menggambar Nabi Muhammad dan disusulnya insiden berdarah di salah satu gereja, mendapat banyak kecaman dari berbagai negara termasuk dari Indonesia.
Ketegangan dan dinamika yang tajam (absolute contradiction) seringkali membuahkan kerugian psikologis, ekonomi, dan bahkan hilangnya nyawa seseorang. Karena itulah, dibutuhkan ikhtiar untuk menengahkan dan mencari titik temu (shared margin of appreciation) yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Paling tidak, ada tiga cara menghadapi konflik atau ketegangan, yaitu menghindar, menyerang, dan berdamai. Menghindar (melarikan diri, menyalahkan, menyangkal) dan menyerang (mencela, ngegosip, adu fisik) jelas tidak akan menyelesaikan ketegangan. Namun jika berdamai (memaafkan, bicara dengan kepala dingin, mendatangkan penengah, mencari kesamaan), maka akan ada titik temu dan menguntungkan kedua belah pihak.
Antara Agama dan Feminisme
Ketegangan dan konflik juga sering terjadi antara kelompok agama dengan feminis. Kehadiran feminis yang berbasis agama (theologian feminist), termasuk di dalamnya feminis muslim, menjadi jembatan (penengah) dalam mengatasi ketegangan tersebut. Kebebasan berpendapat (Konstitusi Pasal 28E) dari kalangan agamawan dan juga kalangan feminis, akan dapat dipertemuakan jika kebebasan itu tidak melanggar kenyamanan publik, keamanan, aturan, dan moral (ICCPR artikel 18 dan artikel 19).
Kelompok tekstual dan konservatif berpendapat bahwa Islam dan feminisme itu tidak cocok. Islam “berada di jalur keyakinan” sedang feminisme merupakan sebuah istilah yang sekuler. Oleh sebab itu, Islam dan feminisme tidak dapat disatukan. Para pendukung argumen ini berpendapat bahwa masyarakat muslim tidak perlu mengimpor istilah dan nilai Barat dalam masyarakat Islam, apalagi muslim telah memiliki ajaran dalam kitab suci yang menurut mereka lebih relevan dan secara kultural lebih sesuai dibandingkan apa yang ditawarkan Barat.
Sedangkan, pemikiran moderat dan progresif setuju bahwa tidak ada persoalan dengan Islam dan feminisme karena keduanya harmonis. Feminisme sama sekali tidak bertentangan dengan Islam karena Islam memang mempromosikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sekalipun pada praktiknya, prinsip ajaran Islam masih banyak tidak dipahami secara egaliter dan sering kali justru memposisikan perempuan sebagai subordinat.
Anouar Majid berpendapat bahwa Islam and feminism tidak perlu dipahami sebagai istilah yang saling bertentangan. Dia juga mengkritik pendapat yang membatasi “Islam” sebagai istilah yang hanya terkait dengan teologis. Feminis muslim mempunyai pemikiran moderat dan progresif, karena itu agama dan feminism dapat akur.
Cita-cita Feminis Muslim
Salah satu mimpi feminis muslim adalah mewujudkan kembali nilai-nilai kesetaraan dan keadilan yang sudah diupayakan oleh Rasulullah dan diajarkan dalam kitab suci Al-Qur’an. Feminis Muslim berkeyakinan bahwa Islam dan feminisme dapat berjalan bersama.
Beberapa ikhtiar yang dilakukan oleh feminis muslim guna menjembatani ketegangan antara agamawan dan feminis antara lain dengan cara membangun pengetahuan yang didasarkan pada riset yang sistematis dan mendalam.
Misalnya dalam merespon perbedaan pendapat tentang isu kesetaraan gender, para feminis muslim terus menggali sejarah dan pendekatan heremeneutis untuk menunjukkan dasar pemahaman mereka mengenai kesetaraan gender. Pendekatan sejarah memberikan pemahaman tentang bangunan sebuah masyarakat, pemikiran, dan ruang relijiusitas di mana di dalamnya memungkinkan dekonstruksi pemahaman mengenai kesetaraan gender.
Memahami konteks (asbabul nuzul dan azbabul wurud) sebuah ajaran agama diajarkan atau dikalamkan hal penting untuk mendapatkan pesan substantifnya. Sedangkan, pendekatan hermenuetis dalam hal ini digunakan untuk menemukan pesan apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam teks ajaran Islam dengan melihat konteks dari munculnya sebuah teks ayat, tata bahasa teks ayat, dan juga pandangan dunia yang ada di dalam ayat.
Feminis muslim percaya bahwa ayat-ayat dalam ajaran Islam menghormati laki-laki maupun perempuan dan di sanalah sumber rujukan mereka membicarakan kesetaraan gender. Mereka menganggap adanya kesalahan memahami kesetaraan gender di antara umat muslim disebabkan karena sebelumnya selama berabad-abad ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadis ditafsirkan secara eksklusif dan sangat berperspektif laki-laki. Mereka menekankan bahwa kesetaran dan keadilan gender itu setara dan saling melengkapi, bukan menguasai dan menang sendiri.
Para feminis muslim juga menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Bayani adalah landasan normatif baik dari Al-Qur’an dan hadis. Sedangkan burhani adalam ilmu pengetahuan dan fenomena empiris yang diperoleh dengan mengedepan akal dan koridor ilmiah, sedangkan irfani adalah hati nurani.
Artinya, di saat akan mendiskusikan isu-isu gender dan perempuan, para feminis muslim akan mencari dulu landasan normatif, landasan pengetahuan, dan juga dikonsultasikan dengan nilai-nilai kemanusian.
Implementasi Nilai Etik dan Moral di Masyarakat
Selain itu, feminis muslim juga mengimplementasikan nilai-nilai etik dan moral yang ada di masyarakat. Menurut Ibnu Miskawayh, etika adalah sikap mental yang sudah mapan terdiri dari kekuatan untuk melakukan sesuatu tanpa berfikir panjang.
Sikap mental ini diinternalisasikan secara mendalam dalam hidup seseorang. Miskawayh meyakini bahwa etika dan moral berkaitan erat dengan konsep spiritual yang terdiri dari kebaikan yang disepakati oleh semua orang (ma’ruf), kabaikan yang hanya dapat dirasakaan oleh individu (al–khair), kebahagiaan (al–sa’adah) dan dampak baik dari perbuatan itu (fadhilah).
Beribadah magdhoh (puasa, shalat) adalah kebaikan yang dirasakan seseorang namun bisa jadi hal itu tidak dapat dirasakan oleh orang lain, yang tidak mempercayai kewajiban shalat dan puasa. Karena itulah, ketika seseorang itu meyakini rukun Islam adalah kewajiban dan akan membawa kebaikan, maka selesai sholat, puasa, bayar zakat, dan melaksanakan haji, mereka akan merasakan kebahagiaan. Kebanyakan para feminis muslim menjalankan ritual-ritual agama seperti puasa, sholat, zakat dan haji.
Model Gerakan Feminisme
Model gerakan yang dilakukan oleh feminis muslim adalah menggunakan pendekatan ‘silent revolution’, yaitu gerakan perubahan dengan cara halus, menghindari konflik, dan tidak frontal. Walaupun cara berfikirnya mengacu pada keadilan substantif yang mengurai relasi kuasa serta mempertanyakan penafsiran yang misoginis, namun dalam implementasinya, tidak dipaksakan.
Perubahan pelan tapi pasti didasarkan pada pertimbangan kearifan lokal, aspek psikologis pasangan, dan budaya dominan yang ada. Segala hal yang secara teologis dan filosofis dapat diterima belum tentu secara sosial, budaya, dan psikogis langsung diterapkan.
Misalnya walaupun kebanyakan feminis muslim setelah melakukan kajian imamah, tidak ada yang menentang secara pikiran dan keyakinan, namun untuk diimplementasikan dalam keluarga, mereka harus mempertimbangkan perasaan pasangan dan kondisi budaya di mana mereka tumbuh dan hidup. Para feminis muslim sangat memahami bahwa merubah mind set dan keyakinan apalagi hal-hal yang terkait dengan ibadah tidak mudah dan butuh waktu.
Berdasarkan pengamatan dan kajian, feminis muslim mempunyai kepiwaian dalam menjembatani dan menjadi penengah dari ketegangan agamawan dan feminisme. Menjadi religius (sholeh-sholehah) sekaligus menjadi feminis dalam waktu yang bersamaan adalah hal yang sangat mungkin, asalkan dapat menemukan persamaan substantif dari keduanya. Serta dilakukan dengan pemilihan kata yang menyejukan (hikmah) serta beradu argumen dengan cara yang baik, tanpa merendahkan dan menyerang pihak yang berbeda (QS. An-Nahl 125).
Artikel ini telah dimuat di IBTimes.id pada 2 November 2020: https://ibtimes.id/ikhtiar-mencari-titik-temu-antara-agama-dan-feminisme/