Blog Opini

Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual (2)

angel 2Pandangan Para Imam tentang Matan Hadis

 Fenomena keberagaman manusia dalam wacana studi agama saat ini dapat dilihat dari pendekatan normativitas ajaran wahyu dan historitas interpretasi manusia terhadap ajaran tersebut.[1] Normativitas ajaran wahyu pada umumnya dibangun melalui pendekatan doktrinal teologis, sedangkan historitas keberagaman manusia dibangun melalui berbagai pendekatan keilmuan sosial keagaman yang bersifat multidisipliner, baik pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis kultur maupun antropologis.

Hadis dan Al Qur’an, merupakan sumber ajaran Islam yang paling otoritatif. Al Qur’an dan hadis sebagai sebuah teks sangat terbuka untuk diinterpretasikan dari berbagai sudut pandang. Hasil interpretasi Al Qur’an dan hadis jelas berbeda dengan teks Al Qur’an dan hadis itu sendiri. Hasil interpretasi pada dasarnya merupakan dialog antara teks dengan penafsir yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, politik dan mungkin juga kepentingan-kepentingan penafsir sendiri.

Mengenai hadis-hadis tentang intervensi malaikat dalam hubungan seksual suami isteri, para ulama dan ilmuan berbeda dalam memaknainya. Ada kelompok yang menerima hadis itu apa adanya secara tekstual, sedangkan kelompok yang lain mencoba untuk melihat dari konteksnya. Perbedaan pandangan antara kelompok pertama dan kedua menurut Mas’udi disebabkan oleh perbedaan konstruk tentang seksualitas itu sendiri.[2] Dari kalangan ahli fiqh, seks bagi perempuan banyak diajarkan sebagai kewajiban. Hal ini terkait dengan pandangan konvensional masyarakat tradisional-agraris bahwa seks adalah barang suci/sakral yang diciptakan Tuhan untuk menjamin keturunan (procreation). Sementara masyarakat kota beranggapan bahwa seks bagi perempuan selain untuk reproduksi juga untuk dinikmati (pleasure) karena itu merupakan salah satu nikmat Tuhan. Pandangan semacam ini juga mempengaruhi konsep pernikahan, di mana pandangan pertama yang dipelopori oleh madzab Syafe’i mendefinisikan pernikahan sebagai ’aqad tamlik’ (kontrak pemilikan). Jadi, suami adalah pemilik dan sekaligus penguasa perangkat seks yang ada pada tubuh si isteri.

Sementara pandangan kedua mendefinisikan pernikahan adalah ’aqad ibadah’ (kontrak menghalalkan sesuatu) yang semula dilarang. Isteri tetap mempunyai otonomi terhadap perangkat seksnya. Jadi urusan seks tergantung mempelai berdua, baik kapan waktunya dan bagaimana pun caranya.

Kelompok pertama mengatakan bahwa melayani ajakan dari suami untuk berhubungan seksual adalah sebuah keharusan kapanpun dan sesibuk apapun.[3] Salah satu hak suami yang harus dipenuhi isteri adalah melayani kebutuhan seksual suami.[4] Pendapat mereka didasarkan pada hadis Nabi yang mengatakan, bahwa ”Bila seorang suami mengajak isterinya (untuk berhubungan seksual), maka penuhilah dengan segera sekalipun isteri sedang sibuk di dapur.” (HR. At-Tirmizi dan Ibn Majah); ”Seorang isteri tidak boleh menolak ajakan suaminya (untuk tidur bersama), meskipun dia sedang di punggung onta”.

Berdasarkan hadis tersebut mereka (kelompok pertama) mengatakan bahwa melayani kebutuhan seksual suami adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda. Isteri hanya boleh menolak ajakan suami jika ia dalam keadaan haid dan nifas. Namun tidak boleh menjauhinya karena suamipun juga mempunyai hak untuk mencumbui isterinya, walaupun dalam keadaan haid dan nifas.

Dalam syariah ’Uqud al-Lujain halaman 4 dikatakan bahwa jika isteri menunda-nunda melayani ajakan suami, maka semua amal baik isteri dapat terhapuskan dan diancam dengan siksaan yang amat berat. Pernyataan ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ibn ’Abbas ra. Berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Walaupun seorang isteri setiap harinya aktif mengerjakan shalat malam dan puasa sunnah, tetapi tatkala diajak ke tempat tidur oleh suaminya (untuk berhubungan seksual) ia menundanya satu saat (satu jam saja) niscaya pada hari kiamat ia akan diseret dengan rantai dengan tangan terbelenggu, ia dikumpulkan bersama dengan setan-setan di dasar neraka yang paling menghinakan”.[5]

Jadi, dari hadis-hadis tersebut, para ulama dari kelompok pertama ini menyimpulkan bahwa seks adalah hak suami dan kewajiban isteri, karena itu kapanpun dan di manapun isteri harus melayani ajakan suaminya. Kedua, jika si isteri menunda atau menolak ajakan suami maka ia akan rugi dan celaka baik di dunia maupun di akherat. Di dunia ia dilaknat malaikat dan di akherat ia akan diseret ke neraka bersama dengan setan-setan yang menghinakan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hanya laki-laki yang mempunyai nafsu seksual dan jika si isteri menginginkan dan suami menolak, akibat apa yang akan diterima oleh suami ?

Berbeda dengan kelompok sebelumnya, kelompok kedua banyak dipelopori oleh tokoh-tokoh gerakan perempuan dan penafsir yang progresif yang menyatakan bahwa hadis tersebut perlu dilihat lagi. Jika dilihat secara tekstual saja maka ada kesan bahwa perempuan/isteri tidak mempunyai hak akan kepuasan seksual. Dalam tasawuf seks, orgasme merupakan jalan menyatukan diri seorang hamba dengan Tuhannya. Karena itu baik laki-laki maupun peempuan sama-sama memiliki hak-hak untuk dapat menikmati hubungan seks yang mereka lakukan.[6] Hadis tersebut tidak dapat disimpulkan bahwa isteri yang tidak mau melayani suami akan dilaknat malaikat. Sebab jika suami mengajak isteri untuk melayani keinginannya, sedangkan isteri dalam keadaan tidak mengizinkan (karena lelah atau lainnya) dan suami tidak memaksa, maka pada hakikatnya suami tersebut telah melanggar prinsip mu asyarah bil ma’ruf. (QS. Al-Nisa’:19).[7]

Hal senada juga diungkapkan oleh Mas’udi[8] yang menyatakan bahwa walaupun hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim yang dipandang sebagai perawi dan pentakhrij hadis paling terpercaya, namun tidak mungkin Rasul mensabdakan suatu ketidakadilan, apalagi ketidakadilan suami terhadap isteri.

Banyak ulama yang menyarankan supaya hadis tersebut tidak difahami secara harfiah/tektual. Mustafa Muhammad’Imarah mengatakan bahwa laknat malaikat hanya terjadi jika penolakan isteri dilakukan dengan tanpa alasan. Wahbah al-Zuhaili juga mengatakan bahwa laknat dalam hadis tersebut juga harus diberi catatan: selagi isteri dalam keadaan longgar dan tidak dalam keadaan ketakutan. Al-Syirazi mengatakan bahwa meskipun pada dasarnya isteri tidak terangsang atau tidak mood, maka ia boleh menawarnya atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Bagi isteri yang sedang sakit, tidak wajib untuk melayani ajakan suami, sampai sakitnya hilang. Jika tetap memaksa ia bertentangan dengan mu asyarah bi al-ma’ruf dengan berbuat aniaya pada pihak yang semestinya dilindungi.

[1] M.Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

[2] Masdar F.Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh (Bandung: Mizan, 1997).

[3] Muhammad Abdullah Nipan, Membahagiakan Suami sejak Malam Pertama (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 261.

[4] As-Sayyid Mayai, 50 Wasiat Rasulullah saw Bagi Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hlm.70.

[5] Abdullah M.Nipan, Membahagiakan Suami, hlm.264

[6] Nasaruddin Umar, dalam Majalah Mitra edisi September-Desember, 2000, hlm.14.

[7] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 151.

[8] Masdar Faried Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqh Pemberdayaan (Bandung: Mizan, 1997).

Alimatul Qibtiyah
Aktivis perempuan dan peneliti masalah gender. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan 'Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat Aisyiyah. Komisioner Komnas Perempuan. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga.
http://genderprogressive.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *