Blog Opini

Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual (3-Habis)

angel 1Alternatif Pemikiran

 Hadis tersebut secara tesktual memiliki arti bahwa jika isteri menolak ajakan suami maka akan dilaknat malaikat. Menurut penulis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, bagaimana bahasa yang digunakan dalam hadis tersebut (analisis bahasa). Kedua, bagaimana pendekatan fiqh yang digunakan (pendekatan hukum). Ketiga, bagaimana kondisi fisik dan psikologis yang baik dalam hubungan seksual bagi suami maupun isteri. Keempat, apa sebenarnya makna laknat malaikat dalam hadis tersebut.

 1. Analisis Bahasa

 Bahasa yang dipakai dalam hadis ini perlu dicermati dengan seksama. Kata-kata ajakan suami dengan menggunakan iza da’a (-da’a-ya’u-da’watun) (dakwah) artinya mengajak dengan cara yang baik, sopan, penuh bijaksana dan mengetahui benar kondisi yang diajak seperti dalam Al Qur’an surat an-Nahl ayat 125.

Penolakan isteri atas ajakan suami dengan menggunakan kata fa’abat, di mana kalau dikaitkan dengan bahasa yang digunakan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 34, ketika menggambarkan sikap iblis yang tidak mau sujud kepada Adam, maka Allah juga menggunakan kata a ba, yaitu berbunyi aba wastakbara, artinya: ”ia enggan dan takabur”.

Jadi, dari analisis bahasa ini dapat disimpulkan bahwa laknat malaikat benar-benar terjadi pada isteri jika ketika sang suami sudah mengajaknya dengan penuh kesopanan, tidak memaksa dan dengan penuh pengertian dalam arti isteri tidak sedang dalam keadaan uzur baik karena haid maupun alasan rasional lainnya, tetapi sang isteri menolaknya dengan tanpa alasan. Tetapi laknat itu tidak akan terjadi jika memang sang suami memaksa sang istri untuk melayani, karena punya pemahaman bahwa dia/suami punya hak memaksa istri untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka.

 2. Pendekatan Usul al-Fiqh (Teori Hukum Islam)

 Dalam memahami dan mengkaji teks, baik hadis maupun Al Qur’an dapat menggunakan pendekatan Usul al-fiqh. Dalam Usul al-fiqh ada salah satu kaidah hukum Dalalah ad-Dalalah, yaitu petunjuk lafal bahwa hukum yang ada pada teks itu berlaku juga pada sesuatu yang tidak disebutkan dalam teks, karena ada kesamaan ’illah yang dipahami dari konteks bahasa.[1]

Berdasarkan kaidah usul al-fiqh Dalalah ad-Dalalah tersebut ketika memahami teks yang ada dalam hadis tentang laknat malaikat pada isteri yang tidak mau melayani kemauan suami untuk berhubungan seksual adalah: jika wanita dilaknat malaikat karena menolak berhubungan seksual dengan tidak sopan dan seperti iblis bahkan tanpa alasan syar’i (haid dan nifas), sedangkan suaminya sudah mengajak dengan baik, dengan menggunakan bahasa dakwah, maka menurut teori hukum Islam Dalalah ad-Dalalah laknat malaikat juga akan berlaku pada suami yang menolak dengan tidak sopan seperti Allah gambarkan dalam QS Al Baqarah ayat 34 ketika diajak isteri untuk berhubungan seksual dengan cara yang baik-baik seperti ketika mengajak berdakwah.

 3. Kondisi Fisiologis dan Psikologis

 Seksualitas dalam Islam merupakan persoalan yang cukup sensitif. Ketika dikaitkan dengan tatanan sosial Islam, maka Islam seolah berfihak pada salah satu jenis kelamin, yaitu laki-laki. Al-Gazali dalam Ihya’Ulum ad-Din mengatakan bahwa pemuasan seksual akan disesuaikan dengan tingkat dan tekanannya yang mana laki-laki dapat menentukan jumlah isteri lebih banyak karena laki-laki dikaruniai dorongan dan keinginan seksual yang kuat.[2] Namun sebenarnya Al-Gazali selalu mengisyaratkan bahwa tidak terdapat perbedaan karakter dorongan seks laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian secara tidak sengaja ia menyatakan suatu alasan yang ambivalen mengenai seksualitas perempuan dalam tatanan muslim.

Berbeda halnya dengan apa yang dikatakan oleh Syaikh Hasan al Bahri tentang seksualitas. Menurut dia, nafsu seksual wanita itu lebih tinggi dibanding laki-laki. Menurut keterangannya, Allah menciptakan nafsu seksual itu sepuluh bagian. Sembilan bagian milik wanita dan satu bagian milik pria. Hal ini diutarakan ketika ditanya oleh Rabi’ah al-Adawiyah.[3]

Ada penelitian yang dilakukan oleh seorang dokter ahli seksologi di Yogyakarta tentang dorongan seksual antara laki-laki dan perempuan. Ia menemukan bahwa dorongan seksual laki-laki lebih tinggi daripada perempuan ketika berumur sekitar 17-24 tahun. Sementara perempuan mempunyai dorongan seksual lebih tinggi dari lak-laki ketika ia sudah melahirkan.

Menurut Adhim, hasrat berjimak laki-laki banyak berkaitan dengan fisiologisnya.[4] Hal ini terjadi karena laki-laki akan menimbun sperma ketika ada gejolak, sehingga menuntut untuk terpenuhi atau tersalurkan dengan segera. Sementara hasrat berjimak perempuan lebih banyak bersumber pada kebutuhan psikisnya untuk memperoleh kehangatan dan cumbu rayu dari orang dicintainya. Secara fisik tidak ada yang tertimbun sehingga tidak membutuhkan dengan segera untuk terpenuhi hasratnya. Semakin beragamnya pendapat tentang hasrat berjimak baik laki-laki maupun perempuan menunjukkan bahwa konstruk seksualitas sebenarnya tidak lepas daripada tatanan sosial yang ada. Karena itu, perlu diteliti lagi, sebab bisa jadi setiap individu mempunyai dorongan seksual yang berbeda-beda, sehingga bukan ditentukan oleh jenis kelaminnya.

Berdasarkan ilmu fisiologis, laki-laki dan perempuan di saat terdorong, merespon, dan melakukan aktivitas seksual sangat dipengaruhi oleh otak mereka. Artinya kalau otaknya menilai bahwa sesuatu itu enak maka akan berdampak pada rasa yang enak juga. Misalnya, banyak pasangan suami-istri di saat melakukan hubungan seksual dengan menggunakan alat kontrasepsi kondom beranggapan tidak enak karena seolah ada pembatas. Tetapi sebenarnya rasa tidak enak itu dipengaruhi oleh bagaimana dia berpikir tentang alat kontrasepsi tersebut. Kalau mereka berpikir bahwa alat kontrasespi itu bukan penghalang untuk mendapatkan kenikmatan seksual maka mereka secara mudah akan medapatkannnya. Jadi yang menentukan kenikmatan seksual pasangan suami istri adalah salah satunya cara memandang persoalan seksualitas itu sendiri.

4. Makna Laknat Malaikat

 Mengenai arti dari laknat malaikat terhadap isteri yang menolak atau menghindar ajakan suami perlu dilihat kembali. Menurut penulis arti laknat perlu diinterpretasikan kembali, karena kata laknat itu seolah-olah sesuatu yang sangat mengerikan dan menakutkan. Bahkan seolah-olah hubungan suami-isteri adalah hubungan antara Allah dengan hamba-Nya, sehingga ketika suami marah atau kecewa maka malaikat pun juga akan ikut campur untuk menyelesaikan-nya. Padahal sebenarnya kalau kita lihat sampai akhir dari hadis tersebut sebenarnya hanya sebentar, karena ada kata-kata sampai si isteri kembali atau sampai datangnya waktu subuh. Kata laknat menurut penulis dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Hal ini akan dapat berubah menjadi hal yang biasa atau tidak jadi beban jika kedua belah fihak saling mengerti dan terbuka masalah seksual. Selain itu juga perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa masing-masing mempunyai kebutuhan seksualitas yang harus dipenuhi.

Jadi, hadis tentang laknat malaikat terhadap isteri yang menolak ajakan suami, ditangkap sebagai indikasi bahwa seksualitas adalah kewajiban isteri hak suami masih perlu dilihat dan diintegrasikan dengan al Qur’an yang berbicara tentang seksualitas. Sebagaimana dikatakan oleh Salahuddin bin Ahmad al Adabi dalam bukunya Minhaj Naqd al-Matn,[5] bahwa jika mempelajari hadis maka ada keharusan melihat al Qur’an sebagai rujukan. Ia mengatakan bahwa setiap hadis Nabi yang menyalahi makna/semangat teks al Qur’an, maka hadis itu dinilai bukan sebagai kata-kata Nabi. Selain merujuk pada al Qur’an yang tidak kalah pentingnya adalah melihat hadis-hadis Nabi dan al Qur’an yang menunjukkan egaliter dalam masalah seksual.

Hadis-hadis lain yang berkaitan dengan masalah seksualitas antara lain:[6] ”Tidakkah kamu tahu bahwa jika kamu melakukan hal yang sama tetapi dalam keadaan yang diharamkan akan dianggap menentang-Nya, dan dianggap dosa, demikian pula jika kamu melakukannya secara halal, maka dianggap oleh Allah sebagai amal shaleh”. (HR, Muslim). ”Rasul SAW, melarang seseorang melakukan ’azl’ tanpa izin isteri”. (HR. Ibn Majjah). ”Nabi pernah memarahi seorang pria yang tampak lusuh dan lalai merapikan rambut dan pakaiannya, seraya bersabda, ”Hak isteri adalah suami tampak tampan, seperti halnya dia bagi suaminya”. ”…. sesungguhnya kalian mempunyai hak terhadap isteri-isteri kalian, dan sebaliknya kalian juga mempunyai hak terhadap suami kalian”.

Sedangkan ayat-ayat al Qur’an yang berkaitan dengan seksualitas antara lain: (1) QS. An Nisa’: 19: ”Dan pergaulilah mereka (isterimu) dengan cara yang ma’ruf/baik”; QS. Al Baqarah: 223: ”Isteri-isterimu adalah (bagaikan) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu kehendaki”. (3) QS. Al Baqarah: 187: ”Kamu (suami) adalah pakaian bagi isterimu dan demikian sebaliknya”.

Dari beberapa hadis dan ayat di atas maka sebenarnya masalah seksualitas dalam Islam menurut penulis adalah:

Pertama, hubungan seksual suami-isteri adalah merupakan hak dan kewajiban, keduanya saling merasakan tidak hanya sepihak. Menjadi hak karena ada rasa kepuasan dan sebagai kewajiban karena adanya unsur saling melayani dan menyenangkan. Sebab, jika hal itu hanya dipandang sebagai kewajiban saja, maka secara psikologis akan dirasakan sebagai beban dan penderitaan.

Kedua, isteri maupun suami dituntut untuk saling berdandan sehingga membuat mereka saling tertarik. Jika sama-sama tertarik maka secara psikologis bila berhubungan seksual maka tidak ada yang terpaksa atau dirugikan. Sebab jika ada suami yang mengejar kenikmatan di atas penderitaan isteri atau sebaliknya, maka hal ini bertentangan dengan konsep al Qur’an: mu asyarah bi al ma’ruf.

Ketiga, isteri sebagai ladang untuk bercocok tanam, menanamkan benih, menyambung keturunan, maka kalau ingin memperoleh hasil tanaman yang berkualitas/keturunan yang baik, maka cara bercocok tanampun harus juga dengan cara yang baik. Sebab, jika menanam padi pada musim panas maka hanya membuang-buang waktu dan akan merusak sawah.

Keempat, pakaian adalah lambang dari kesopanan, kerapian, keamanan dan kenyamanan. Jika suami maupun isteri saling merasa menjadi pakaian pasangannya, maka bagaimana agar fungsi dari pakaian itu terwujudkan, artinya bagaimana saling memberi dan memenuhi jika salah satu membutuhkan dengan penuh pengertian dan tidak memaksa atau merasa terpaksa.

Penutup

 Menurut penulis perbincangan masalah hadis-hadis yang dianggap misoginis yang berkaitan dengan hubungan seksual suami-isteri perlu dimaknai secara kontekstual dan dilihat juga bagaimana hadis-hadis lain yang membahas tentang seksualitas dan juga bagaimana al Qur’an membahas tentang hal itu. Selain itu sangat penting untuk menggunakan pendekatan lain baik dilihat dari sisi bahasa yang digunakan, yaitu kata-kata untuk mengajak dan kata-kata untuk menolak. Pendekatan usul al-figh juga sangat penting untuk mencapai suatu keadilan seksual bagi suami maupun isteri, yaitu dengan kaidah hukum Islam yang disebut Dalalah ad-Dalalah. Pemahaman secara fisik dan psikologis perlu diperhatikan, antara lain dengan memahami perbedaan organ reproduksi laki-laki dan perempuan, sehingga dapat memperlakukannya dengan tepat, baik dan sehat; baik fisik maupun psikis. Pemaknaan kembali dapat dilihat secara integratif antara hadis-hadis lain dan al Qur’an.

Dengan demikian melihat realitas seksualitas, maka penulis menyimpulkan bahwa kepuasan seksualitas adalah hak dan kewajiban bersama, antara suami dan isteri. Artinya jika salah satu membutuhkan dan tidak tersalurkan maka sebenarnya pada saat itu akan terjadi suasana yang tidak harmonis baik fisik maupun psikologis. Jika hal tersebut dipahami dengan benar maka penulis yakin angka perceraian akan turun dan problematika seksual akan berkurang.

[1] Ali Hasaballah, Usul al-Tasyri al-Islami (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964), hlm. 240.

[2] Al-Gazali, Ihya ‘Ulum al-Din (Kairo: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 61.

[3] Abdullah M.Nipan, Membahagiakan Suami, hlm.7.

[4] Muhammad Fauzil Adhim, Mencapai Pernikahan Barokah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), hlm. 181.

[5] Salahuddin bin Ahmad al-Adabi, Manhaj Naqd al-Matn (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983).

[6] Sebagaimana yang telah ditulis Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian hlm. 146.

*Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam bentuk buku kumpulan artikel yang berjudul Perempuan Tertindas: Kajian Hadits-hadits Misoginis, editor Hamim Ilyas, diterbitkan oleh PSW UIN Sunan Kalijaga bersama The Asia Foundation tahun 2005.

Alimatul Qibtiyah
Aktivis perempuan dan peneliti masalah gender. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan 'Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat Aisyiyah. Komisioner Komnas Perempuan. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga.
http://genderprogressive.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *