Berita Blog

Ketulusan Anak Negeri di Banjir Brisbane

banjir brisbaneRatusan orang warga Indonesia dan puluhan ribu warga Australia dan asing lainnya yang berdomisili di kota Brisbane dan sekitarnya kini sudah tidak lagi dikepung banjir.

Air banjir yang sempat merendam banyak tempat di kota Brisbane dan sekitarnya, termasuk St.Lucia yang merupakan salah satu kantong komunitas Indonesia di Queensland, sudah surut sejak akhir pekan lalu.

Kondisi ini memungkinkan pemerintah setempat dan warga masyarakat, termasuk warga Indonesia (WNI), melakukan “bersih-bersih” dan perbaikan rumah, kantor, bangunan dan infrastruktur yang rusak.

Bahkan, menurut “ABC News”, Kepala Negara Bagian Queensland (Premier) Anna Bligh, Senin pagi waktu Brisbane (17/1), menggelar pertemuan dengan para menteri dan pejabat pemerintah terkait untuk merumuskan rencana pemulihan dan rekonstruksi Queensland pascabanjir.

“Kami tidak hanya bertekad untuk membangun kembali (Queensland) tetapi juga menjadikan kita komunitas yang lebih tahan banting dan terlindungi dengan lebih baik,” katanya.

Di Kota Brisbane dan sekitarnya, kegiatan pembersihan secara masif serta dorongan bagi warga masyarakat untuk kembali bekerja dan memulai kegiatan ekonomi tetap menjadi fokus.

Bencana banjir yang sempat menjadikan Brisbane bak “kota mati” itu menyisakan beragam kisah heroik tentang kekuatan solidaritas dan persaudaraan kemanusiaan antarwarga yang menembus sekat-sekat sosial, ekonomi, budaya, etnis, kebangsaan dan primordial lainnya di banyak komunitas, termasuk WNI.

Banjir dahsyat yang membawa kembali ingatan banyak warga kota Brisbane pada bencana yang sama tahun 1974 yang ketika itu dilaporkan merendam 6.000 rumah dan menewaskan 14 orang itu sendiri telah pun memaksa lebih dari 120 orang WNI mengungsi.

Mereka ditampung di 16 rumah warga Indonesia yang “selamat” dari genangan banjir di St.Lucia, kawasan dekat kampus utama Universitas Queensland (UQ) yang menjadi salah satu kantong komunitas Indonesia di Brisbne.

Di tengah derita itu, masyarakat Indonesia yang terdiri atas kalangan mahasiswa dan residen tetap (PR) bahu-membahu menolong sesama anak negeri di perantauan yang terkena dampak bencana dengan tenaga dan uang mereka.

“Tekad kita bersama adalah ’nggak’ boleh ada satu orang Indonesia pun di Brisbane yang terlantar karena bencana banjir,” kata Raja Juli Antoni, mahasiswa Indonesia di UQ yang menjadi sukarelawan bagi WNI di Brisbane 12 Januari lalu.

Bahkan, kepada ANTARA yang menghubunginya dari Jakarta, Raja mengatakan warga masyarakat Indonesia di Brisbane “bisa mengatasi masalah ini” secara swadaya.

Para WNI yang tempat tinggalnya “aman” dari banjir menawarkan tumpangan kepada mereka yang terpaksa mengungsi.

Bencana banjir Queensland akibat curah hujan yang tinggi dan meluapnya sejumlah sungai yang melintasi kota Brisbane dan beberapa wilayah lainnya, seperti Sungai Bremer, Warrill, Brisbane (termasuk kota Brisbane), Logan, Albert, dan Mary itu telah memperkuat kebersamaan masyarakat Indonesia.

Alimatul Qibtiyah, mahasiswi program doktor bidang studi-studi Asia dan bisnis internasional (IBAS) Universitas Griffith asal Yogyakarta, menuturkan pengalamannya membantu para pengungsi.

Ibu rumah tangga yang akrab dipanggil Alim ini mengatakan, bantuan bagi para pengungsi tidak hanya datang dari banyak WNI di St.Lucia tetapi juga dari luar kawasan itu dengan membuka dapur umum.

“Beberapa warga yang berada di luar St Lucia juga membuka dapur umum untuk para korban, termasuk yang di Griffith yang saya koordinir. Sebenarnya kami sekeluarga juga korban karena sekitar 100 meter dari tempat kami tinggal juga terendam sampai ke atap”.

“Bahkan ’sign’ (papan penanda) jalan sudah tidak kelihatan. Sebagai dampaknya selama dua hari, kami juga mengungsi ke tempat Mbak Tintin di ’on campus accommodation’ (akomodasi kampus Universitas Griffith) di Nathan, dan pada hari kedua kami pindah ke Pak Agung/Bu Era di Mt Gravat,” kata Alim.

Dapur umum Griffith Saat di tempat pengungsian itulah, Alim dan beberapa warga Indonesia lain, seperti Tintin, Bambang, Igun, Eko, Yeni, Adit, Stefan, dan suaminya, Santo, berinisiatif membuka dapur umum di Griffith.

“Saat itu, karena hampir semua barang yang diperlukan ludes (habis) baik di (hipermarket) Aldi maupun Woolworths dan juga terbatasnya dana keluarga kami, kami bersihakan semua stok bahan makanan kami yang ada di kulkas dan almari, dibantu bahan makanan dari Pak Bambang dan juga Ibu Tintin,” kisahnya.

“Alhamdulillah pagi harinya, hari Kamis (13/1), kami berhasil membuat 100 kontainer sarapan siap saji yang dikirim ke St Lucia. Sangat perlu diapresiasi perjuangan teman-teman di Griffith saat itu karena kami hampir semalam masak, hanya istirahat satu jam dari pukul 02.30 sampai pukul 03.30. Karena memang sarapan akan diambil Pak Anjar pukul 05.30,” katanya.

Kandidat doktor yang juga aktivis perempuan ini lebih lanjut menuturkan bahwa kondisi jalan dari Griffith ke St.Lucia ketika itu tidak mudah akibat genangan banjir.

“Perjalanan membawa pasokan makanan untuk teman-teman di St.Lucia membutuhkan waktu satu setengah jam dari yang biasanya hanya  sekitar tiga puluh menit. Saya juga ingat sekali semua tidur di flat dekat dapur dan di kursi karena saat itu hanya ada satu kamar di flat (tempat tinggal) Bu Tintin,” katanya.

Di tengah keterbatasan banyak keluarga Indonesia di Brisbane, Alim mengatakan, uluran tangan dari residen tetap asal Indonesia ikut membantu misi kemanusiaan bagi para WNI yang mengungsi itu.

Dengan uang dari kantong pribadi dan sumbangan dari seorang mahasiswa Indonesia di St.Lucia sebesar 50 dolar Australia serta sejumlah residen tetap, Alim dan anggota tim sukarelawannya memasak makanan bagi para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan pada 13 Januari dan 15 Januari.

“Yang luar biasa adalah perhatian para relawan benar-benar menolong tanpa sekat. Sejak Sabtu kemarin (15/1), Alhamdulillah, hampir semua jalan sudah dibuka. Saat mengantarkan makan malam bagi teman-teman di pengungsian, kulewati jalan-jalan yang kemarin hanya kelihatan atapnya saja”, ujarnya.

“Baunya anyir dan tumpukan perabotan mulai dari kulkas, komputer hingga mainan anak-anak teronggok di pinggir jalan-jalan menunggu giliran untuk diangkut. Kulewati bus pengangkut sukarelawan yang hingga Senin ini (17/1) jumlahnya sudah mencapai lima ribu orang. Mereka tersebar di seluruh brisbane,” katanya.

Alim mengatakan, banyak di antara para relawan tersebut tidak saling kenal dan tidak punya hubungan sosial apa pun dengan mereka yang ditolong.

“Tapi mereka mempunyai hubungan kemanusiaan. Subhanallah, betapa indahnya dunia ini jika semua manusia mempunyai jiwa menolong tanpa membedakan siapa yang ditolong… Dialah sang pahlawan,” katanya.

Derita para korban bencana banjir di ibukota Queensland dan sekitarnya itu mendapat perhatian serius pemerintah setempat. Bahkan bantuan pemerintah itu diberikan kepada siapa pun yang menjadi korban bencana tanpa memandang status kewarganegaraan yang bersangkutan.

Menurut Alim yang sedang merampungkan studi doktornya dengan disertasi berjudul “Breaking the silence of sexuality in Indonesia” ini, Pemerintah Australia memberikan bantuan uang sekitar 170 dolar Australia per orang dengan maksimal lima orang per keluarga yang terkena banjir dan pemadaman listrik saat bencana.

“Saya sendiri baru akan mencoba Senin ini karena yang saya dengar dan baca di mailing list IISB (Perhimpunan Komunitas Muslim Indonesia di Brisbane), akan ada bantuan bagi para korban yang terkena pemadaman listrik sekitar $170 per orang dengan membawa paspor dan visa,” katanya.

Mengutip penjelasan pemerintah Queensland, bantuan tersebut tersedia bagi para warga maupun keluarga yang terkena banjir di wilayah Balonne, Banana, Barcaldine, Brisbane, Bundaberg, Central Highlands, Cherbourg, Fraser Coast, Goondiwindi, Gympie, Ipswich.

Selanjutnya, Lockyer Valley, Mackay, Maranoa, Moreton Bay, Murweh, North Burnett, Rockhampton, Scenic Rim, Somerset, South Burnett, Southern Downs, Sunshine Coast, Toowoomba, dan Western Downs.

“Kalau dari Pemerintah Indonesia (KBRI Canberra dan KJRI Sydney-red.), saya belum tahu persis. Kemarin (Minggu-red.), kita baru didata soal jenis kerugian apakah berat, sedang, dan ringan. Menurut berita, hari ini (17/1),  baru akan ada pertemuan dengan pihak KJRI Sydney. Tapi, saya pribadi belum tahu tentang tempat dan waktu pertemuan itu,” kata Alim.

Terlepas dari ada tidaknya bantuan Pemerintah RI bagi ratusan WNI yang ikut menjadi korban banjir dahsyat Brisbane, Raja, Alim dan banyak WNI lainnya telah membuktikan kuatnya kebersamaan Indonesia di perantauan di saat saudara-saudara sebangsa dan se-tanah air terpapar bencana.

Berita ini merupakan tulisan Rahmad Nasution, wartawan Kompas, dan dimuat di Kompas Online kategori Oase pada 17 Januari 2011.

Alimatul Qibtiyah
Aktivis perempuan dan peneliti masalah gender. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan 'Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat Aisyiyah. Komisioner Komnas Perempuan. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga.
http://genderprogressive.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *