Pandangan feminis yang sedang digencarkan di berbagai belahan dunia saat ini dan gerakan perempuan merupakan dua hal yang sangat penting. Hal inilah yang menarik perhatian Alimatul Qibtiyah, Ketua LPPA Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah untuk melakukan penelitian dalam disertasinya terkait gerakan perempuan, serta bagaimana perbedaan antara feminis Indonesia dengan feminis lain.
Salah satu keunikan gerakan perempuan di Indonesia, kata Alim, yakni adanya keterlibatan laki-laki. Kultur Indonesia yang dengan melibatkan laki-laki di dalam gerakan perempuan itu salah satu keunikan dari gerakan perempuan itu sendiir di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari hampir semua pusat studi di Indonesia diawal pendiriannya melibatkan laki-laki.
“Cikal bakal gerakan perempuan di Indonesia sangat unik dengan adanya keterlibatan laki-laki. Kartini dengan dukungan ayahnya, Dewi Sartika dengan dukungan suaminya, dan semua pusat studi di Indonesia ketika pertama kali berdiri pengurusnya ada laki-lakinya,” ungkap Alim dalam diskusi bersama redaksi Suara Muhammadiyah pada Sabtu (4/2) di Kantor Suara Muhammadiyah.
Menurut Alim, lahirnya kondisi tersebut dilandasi pada pandangan perempuan di Indonesia yang melihat laki-laki bukan sebagai musuh namun sebagai laki-laki adalah sebagai mitra untuk memperjuangkan kesetaraan gender. “Karena kita melihat man is not enemy. Tapi man is our partner to struggle gender equality,” ungkapnya.
Dalam feminis, lanjut Alim, dikenal istilah man care atau laki-laki peduli. Alim menyebutkan, dalam penelitiannya disebutkan bahwa konsep man care atau laki-laki peduli tidak akan berhasil manakala relasinya tidak terurai. Menurutnya, konsep man care yaitu ada sesuatu yang mnejadi komitmen bersama yang tujuan akhirnya adalah bagaimana keluarga menjadi tanggung jawab bersama dan bahagia bersama.
“Keluarga sakinah mawaddah warahmah itu tidak ada yang tertekan. Ada sesuatu yang menjadi komitmen bersama. Nah asal muasal fikih laki-laki itu di situ sebenarnya,” pungkasnya.
Dikatakan Alim, salah satu ciri khas dari muslim feminis yaitu negosiasi dan menekankan aspek win-win solution. “Jika konsep feminis yang ditekankan adalah feminis yang menyadari ada persoalan perempuan dan menyadari bagaimana ada usaha yang lebih baik, Nabi Muhammad itu juga feminis,” tuturnya. Sehingga filosofi islamic feminis, lanjut Alim, sebenarnya adalah mengembalikan apa yang diinginkan Rasulullah.
“Karena kalau kita lihat ulama fikih seperti Hanafi, Hambali, Maliki, Syafii, semakin hidupnya dekan dengan nabi, semakin fleksibel dengan perempuan. Tetapi semakin jauh dengan nabi, semakin saklek dan memperumit diri pada persoalan perempuan,” tandasnya.