Blog Opini

Lima Langkah Mewujudkan Cita-cita Kartini

Setiap 21 April masyarakat Indonesia memperingati hari lahirnya Raden Ajeng Kartini (1879-1904). Peringatan ini selalu mengundang kontrovesi bagi kelompok pro dan kontra, kelompok pro menganggap bahwa apresiasi kepada Kartini layak, karena dia memang banyak menulis dan fenomenal di jamannya.

Sedangkan bagi kelompok kontra, menganggap bahwa banyak tokoh-tokoh perempuan yang kiprahnya melebihi Kartini, Kartini sengaja dimuncukan untuk menguatkan politik kebaikan (politik ethis Hindia Belanda) yang dilakukan oleh kelompok tertentu.

Terlepas dari polemik peringatan hari Kartini, istilah yang banyak dilekatkan pada nama RA Kartini adalah kata feminis, gender, dan emansipasi. Seiring dengan itu, di masyarakat kita hari ini masih banyak terdapat kesalahpahaman dalam memahami kata feminis dan gender. Bahkan ada yang antipati dikarenakan adanya anggapan negatif yang berkembang di masyarakat.

Anggapan negatif itu misalnya feminisme dan gender dipahami sebagai gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial (institusi rumah tangga, perkawinan), maupun upaya pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodrat atau ketentuan agama.

Bahkan masih ada yang menganggap bahwa istilah tersebut dari Barat dan tidak Islami, sehingga tidak perlu diikuti. Namun demikian jika kita lihat kembali secara difinisi dan tujuan gerakan feminis dan gerakan kesetaraan gender itu sendiri, maka dapat dikatakan bahwa anggapan-anggapan tersebut sama sekali tidak benar.

Feminisme ialah paham dan ideologi yang menguatkan kesadaran pribadi atau kolektif bahwa perempuan tertindas dan ada upaya untuk membebaskan dari ketertindasan itu, sehingga kehidupan perempuan menjadi lebih baik. 

Dalam definisi yang lain feminisme ialah pemikiran, kesadaran dan kegiatan/gerakan yang diilhami oleh kepedulian untuk memperjuangkan hidup dan kehidupan perempuan demi keadilan bagi semua. Sedangkan gender adalah suatu peran, fungsi, tanggungjawab, relasi, sifat laki-laki dan perempuan yang berasal dari bentukan masyarakat.

Sedangkan gerakan kesetaraan gender adalah gerakan yang memberikan akses yang sama, partisipasi yang seimbang, memberikan kontrol/pembuat keputusan yang sama serta menekankan akan manfaat yang proporsional pada laki-laki dan perempuan terhadap semua kegiatan yang ada di keluarga dan masyarakat.

Dilihat dari difinisi tersebut ada dua kata kunci yang terkandung dalam kata feminisme yaitu adanya kesadaran atau kepedulian (attitude/sikap) dan kegiatan atau gerakan nyata (behavior/tindakan nyata).

Artinya tidak dapat dikatakan seorang feminis jika dia hanya menyadari saja kalau perempuan banyak mengalami persoalan yang disebabkan karena relasi timpang antara laki-laki dan permpuan,  tetapi tidak ada usaha nyata untuk mengurangi atau membebaskan perempuan dari ketertindasan itu.

Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa feminis adalah siapapun baik laki-laki maupun perempuan yang mempunyai pemikiran, kesadaran dan kepedulian akan persoalan-persoalan penindasan terhadap perempuan dan melakukan upaya menghilangkan penindasan itu, sehingga kehidupan perempuan menjadi lebih baik.

Di dunia Islam, Nabi Muhammad SAW adalah seorang pelopor gerakan feminis. Beliau telah mengubah status perempuan dari manusia nomer dua menjadi setara kedudukannya dengan laki-laki. Dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa orang yang paling mulia di depan Allah adalah orang yang bertaqwa, baik laki-laki maupun perempuan.

Pada zaman sebelum hadirnya Islam, perempuan tidak mempunyai hak yang setara dengan laki-laki, kesaksian perempuan tidak diakui, tidak mendapatkan warisan, bahkan ada sebuah kisah bahwa Umar Bin Khattab menangis menyesali telah mengubur anak perempuannya hidup-hidup sebelum beliau memeluk Islam.

Melihat masih adanya masyarakat yang menolak kata feminis atau gerakan gender, maka dalam hal ini diperlukan upaya konkrit berupa sosialisasi pemahaman yang benar tentang istilah-istilah tersebut. Jangan mengkritik dan menolak sebuah konsep dari istilah tertentu sebelum mengetahui benar apa yang terkandung dalam konsep tersebut.

Apalagi kalau penolakan tersebut dibarengi dengan sikap diskriminasi dan anarkhis maka hal itu akan benar-benar berdampak buruk pada kehidupan perempuan. Karena itu, sosialisasi istilah dengan segala konsepnya menjadi keharusan.

Selain sosialisasi istilah, ada lima langkah untuk menciptakan kehidupan yang damai dan adil tanpa prasangka yaitu dengan:

Pertama, melaksanakan refleksi diri (Engage in self reflection). Kegiatan refleksi sangat penting untuk melihat kembali apa yang telah kita kerjakan, hikmah dari apa yang didapatkan, serta untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dengan pikiran dingin dan jernih.

Sudah benarkah pemahaman saya tentang feminisme atau gender? Sudahkah saya berperilaku adil dan setara pada semua jenis kelamin?

Kedua, menghindari pemikiran yang hanya hitam-putih (more beyond duality). Kebiasaan pemikiran hitam-putih itu contohnya berpikir halal v.s haram, benar v.s salah, maskulin v.s feminin, sehingga sering menghasilkan pemikiran yang kaku.

Pada kenyataan di masyarakat, banyak kejadian yang tidak dapat kita nilai hanya dengan perspektif benar v.s salah. Dalam hukum Islam contohnya, hukum fiqh yang ada tidak hanya sekedar halal v.s haram saja, tetapi ada ijuga yang sifatnya mubah, makruh, dan sunnah. Dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi,  hukum yang awalnya haram pun dapat menjadi halal, demikian juga sebaliknya.

Melihat pelangi itu lebih indah daripada melihat zebra cross.

Ketiga, membangun komunitas (build community) berupa lembaga ataupun media. Kebersamaan ini diperlukan untuk memperjuangkan keadilan laki-laki dan perempuan yang dicontohkan oleh R.A. Kartini dan juga tokoh-tokoh perempuan lain. Sebab jika dilakukan secara sendirian tentu akan terasa sulit, berbeda halnya dengan banyak orang, tentu perubahan akan lebih mudah dicapai.

Komunitas juga dibutuhkan untuk menyusun kekuatan politik, sehingga perubahan yang diperjuangkan tidak hanya bersifat individu tetapi juga sampai pada dataran kebijakan baik di masyarakat, tempat kerja maupun di negara pada umumumnya. Kebersamaan akan membawa rasa kepemilikan lebih kuat.

Keempat, terbuka menerima hal-hal yang baru (open to receiving). Salah satu tanda seseorang mempunyai kecerdasan emosi menurut daniel Goulman adalah sifat terbuka terhadap hal-hal yang baru. Artinya datangnya pemikiran atau istilah baru tidak harus kita curigai, tetapi kita pelajari dan pahami. Namun demikian dalam mengolah informasi baru, sikap kritis juga perlu dikedepankan.

Kunci langkah keempat ini adalah sikap menghargai pendapat orang lain dan inklusif.

Kelima, terbuka untuk memberi (open to giving). Setelah kita mempunyai pemahaman yang komperhensif, langkah berikutnya adalah berbagi pemahaman dan pengalaman itu dengan orang lain, baik melalui diskusi, tulisan, maupun karya-karya lainnya.

Dalam ajaran Islam dikatakan, “Sampaikanlah walaupun satu ayat’. Kalau semua orang sudah memahami dengan benar istilah gender dan feminisme maka akan sangat mudah untuk mensosialisasikan konsep keadilan laki-laki dan perempuan.

Dengan demikian cita-cita R.A Kartini juga harapan para tokoh perempuan lainnya  agar laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama, partisipasi yang seimbang, kontrol yang seimbaang dan manfaat yang proporsional dari seluruh kegiatan di segala aspek kehidupan ini akan  mudah terwujud.

Perjuangan Kartini dan tokoh-tokoh perempuan lainnya, harus terus dilanjutkan tanpa henti sampai tidak ada penindasan dan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di masyarakat.

Dibutuhkan Kartini-kartini baru, Walidah-walidah baru, Rohana Kudus baru yang mempunyai semangat tinggi yang diwujudkan dengan aktivitas riel untuk melawan penindasan dan menciptakan keadilan.

Kita yakin kalau usaha ini dilakukan secara terus menerus maka hak-hak konstitusional perempuan akan terpenuhi dengan baik. Para pahlawan perempuan akan sangat bahagia jika perjuangan membela perempuan diteruskan oleh kader-kader bangsa yang rindu akan perubahan.

Marilah kita kenang kelahiran Raden Ajeng Kartini dengan semangat dan tindakan nyata untuk melawan penindasan dan menciptakan keadilan.

Artikel ini terbit pada 21 April 2020 di https://rahma.id/lima-langkah-mewujudkan-cita-cita-kartini/

Alimatul Qibtiyah
Aktivis perempuan dan peneliti masalah gender. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan 'Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat Aisyiyah. Komisioner Komnas Perempuan. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga.
http://genderprogressive.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *