Blog Opini

Tidak Cukup Kebiri

KEJAHATAN seksual pada anak yang dilakukan orang dewasa sudah mencapai tahap memprihatinkan baik secara kualitas tingkat kekejamannya maupun kuantitas kasusnya. Orangtua dan masyarakat semakin resah apalagi bergulirnya informasi saat ini sangat cepat baik melalui medsos maupun media lainnya. Salah satu langkah yang akan dilakukan pemerintah adalah sedang disusunnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) yang di dalamnya termaktub pengebirian pada pelaku. Saat ini peraturan tersebut sedang digodok pelbagai pihak. Jika peraturan ini diberlakukan apakah benar akan terhenti kejahatan seksual pada anak?

Usaha pemerintah untuk memberangus kejahatan seksual pada saat ini perlu diapresiasi. Sebenarnya hukuman kebiri ini juga sudah dilaksanakan di beberapa negara, seperti di sebagian Amerika, Inggris, Rusia dan Korea. Namun saya tidak yakin ini akan dapat menyetop kejahatan seksual pada anak. Tapi mungkin dapat mengurangi. Karena kejahatan seksual pada anak bukan hanya masalah alat vital. Orang dewasa dapat melakukan kejahatan seksual pada anak dengan tangan, dengan mata dan juga dengan tubuhnya. Hukuman kebiri tidak sebanding dengan rasa trauma yang dialami korban yang mungkin seumur hidup.

Penjahat seksual pada anak hakikatnya melakukan korupsi pada masa depan anak. Sehingga hukuman harus lebih dari hanya sekadar kebiri. Dalam buku Pleasure and Danger disampaikan bahwa kejahatan seksual itu tidak hanya masalah kenikmatan seksual bagi pelaku, tetapi hal ini juga terkait rasa enak (feeling good) karena dapat menguasai atau mengeksploitasi seseorang. Jika penyelesaiannya hanya dengan mengatasi masalah seksual, maka sebenarnya ada persoalan laten yang lebih substantif: merasa nikmat dapat menguasai dan mengeksploitasi orang lain.

Berdasarkan argumentasi itu, maka hukuman pada pelaku paedofil jangan hanya terkait alat reproduksinya saja, tetapi harus lebih komprehensif. Jika hukuman yang melebihi kebiri (seperti hukuman mati) pemerintah belum mampu, maka hukuman kebiri harus diimbangi dengan program-program yang bersifat strategis. Di antaranya: Pertama, penegakan hukum. Bagaimana peraturan ini benar-benar dijalankan tidak hanya sekadar dibuat. Indonesia sebenarnya sudah banyak peraturan walau terkadang antara yang satu tumpang tindih dengan yang lain, namun penegakan peraturan itu masih kurang. Karena itu dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak. Baik lembaga pendidikan, ormas, tokoh agama, khatib Salat Jumat, pendeta dan lainnya untuk mensosialisasikan dampak kejahatan seksual pada anak. Juga hukuman sosial, agama dan hukum positif yang ada di Indonesia bagi pelaku.

Kedua, mengubah mindset atau cara berpikir bahwa berbicara seksualitas dalam ranah pendidikan bukanlah hal yang tabu, sehingga jika anak ingin curhat masalah seksualitasnya tidaklah langsung dihakimi bahwa itu adalah sesuatu yang jelek. Pertanyaan tentang seksualitas adalah sesuatu yang alami dan keingintahuannya harus direspons dengan cara yang bijaksana dan tidak mematahkan keingintahuan anak. Apalagi fenomena kematangan seksual generasi sekarang ini lebih awal dan kecenderungan usia pernikahan juga semakin tinggi, sehingga dibutuhkan manajemen seksual yang komprehensif.

Ketiga, memberikan pendidikan seksualitas pada anak. Di antaranya memberikan penjelasan tentang tiga macam sentuhan (sentuhan yang baik, jahat dan membingungkan/saru). Semai 2045 (Selamatkan Generasi Emas Indonesia) mensosialisasikan video parenting terkait isu kejahatan seksual. Di antara isinya adalah perlu mengajari anak memahami dan mempercayai perasaannya (marah, menyenangkan, menyedihkan dan membingungkan). Latih anak untuk berkata: “Tidak”, berpilaku judes, tegas dan bahkan berbohong pada saat dirinya dalam kondisi terancam. Yakinkan anak untuk dapat berbagi rahasia dan perasaannya dengan orang dewasa.

Berdasarkan beberapa analisis tersebut, hukuman kebiri sebenarnya tidak cukup. Karena itu hanya mengatasi persoalan secara praktis dan belum dapat menyelesaikan masalah dengan cara yang strategis. Selain itu kejahatan seksual tidak hanya dengan menggunakan alat vital saja tetapi dia juga dapat menggunakan tangan, mata dan tubuh serta terkait feeling good dapat menguasai orang lain.

Dimuat dalam Analisis Kedaulatan Rakyat, Jum’at 23 Oktober 2015

Alimatul Qibtiyah
Aktivis perempuan dan peneliti masalah gender. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan 'Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat Aisyiyah. Komisioner Komnas Perempuan. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga.
http://genderprogressive.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *