Perbincangan masalah perempuan baik cara berpakaian, cara berdandan, cara bergaul, dan cara ngomong sering dihubungkan dengan fitnah, yaitu sesuatu yang membawa kemudharatan. Bahkan ada ulama yang meyakini bahwa suara perempuan itu aurat dan membawa fitnah. Selanjutnya mereka meyakini bahwa cara berpakain, cara berdandan juga cara ngomong laki-laki tidak akan membawa fitnah dan menganggap bahwa suara laki-laki bukanlah aurat.
Konsekwensi dari keyakinan ini, laki-laki dapat menjadi profesi apapun dan perempuan tidak berhak memilih profesi-profesi yang mengandalkan suara. Pemahaman yang sangat misoginis (menguntungkan salah satu jenis kelamin) ini, jelas berdampak pada pelanggaran hak asasi perempuan terutama terkait dengan hak mengembangkan diri dan hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (Amandemen UUD 45 pasal 28 C).
Bagaimana situasi dunia jika perempuan tidak boleh bersuara karena suaranya diyakini sebagai aurat? Jawabannya pasti dunia akan ambyar tanpa makna. Supaya dunia penuh kedamaian dan keteduhan (tidak ambyar), maka peran perempuan di berbagai bidang harus didorong dan diapresiasi. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan meyakini bahwa pada dasarnya suara perempuan bukanlah aurat.
Apa itu Aurat?
Sebelum mendiskusikan suara perempuan bukanlah aurat, kita akan lihat apa arti dari aurat. Menurut bahasa, “aurat” berarti malu, aib, buruk, sesuatu yang ditutup, sehingga tidak dapat dilihat dan dipandang, sesuatu yang jika dilihat akan mencemarkan dan sesuatu yang menggoda untuk dilihat.
Berdasarkan definisi tersebut, suara perempuan akan menjadi aurat jika suara itu sesuatu yang buruk, memalukan, mencemarkan, menggoda, dan membawa kemudharatan. Hal ini juga terjadi pada laki-laki. Artinya jika ada suara laki-laki yang tidak membawa pencerahan, tetapi sebaliknya suaranya membawa kemudharatan, maka pada saat itu suara laki-laki pun juga aurat.
Nah, fenomenanya apakah semua suara perempuan membawa keburukan? jelas tidak. Ada banyak perempuan yang mengandalkan suaranya dalam bekerja, seperti penyanyi, artis, penceramah, motivator, guru, politisi, dan profesi lainnya. Berdasarkan penelitian yang ada, para perempuan yang menggunakan suaranya dalam bekerja, tidak serta merta berdampak pada keburukan.
Banyak suara-suara perempuan yang mencerahkan dan menjadikan seseorang mendapatkan hidayah. Dalam sejarah, Umar bin Khatab luluh hatinya karena mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an yang dilantunkan oleh adiknya.
Pandangan Hadits: Suara Perempuan Aurat?
Pada zaman Nabi Muhammad banyak kisah yang mengindikasikan kebolehan mendengarkan suara perempuan bagi bukan mahromnya. Salah satu hadits yang dijadikan rujukan tentang suara perempuan bukan aurat adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau menjelaskan, telah masuk kepadaku Rasulullah saw sementara bersama saya terdapat dua orang gadis sedang bernyanyi dengan Bu’ats, lalu Rasulullah saw berbaring di atas tikar sambil memalingkan mukanya. Dan masuklah Abu Bakar, lalu ia membentak aku sambil berkata: “Serunai syaithan di sisi Nabi saw?” Lalu Rasulullah menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar, sambil berkata: “ Biarkanlah mereka bernyanyi (hai Abu Bakar)”. Dan manakala Rasulullah saw tidak ada perhatiannya lagi, keduanya saya singgung (sentuh), lalu mereka keluar.” [HR. al-Bukhari]
Hadits ini dengan jelas mengisyaratkan bahwa Nabi menikmati lagu-lagu yang dinyanyikan perempuan yang bukan mahromnya. Kalau penyanyi saja boleh, apalagi profesi-profesi lainnya, seperti guru, daiyah, dokter, politisi, dan lain sebagainya.
Namun demikian tidak dapat dimungkiri bahwa di masyarakat masih ada beberapa kelompok yang meyakini suara perempuan adalah aurat. Salah satu dampak dari pemahaman ini jelas terlihat bahwa tidak banyak perempuan yang menjadi mubalighat atau penceramah di sela sholat Isya’ dan Tarawih pada setiap bulan Ramadan.
Suara di Ruang Publik
Sekali lagi, pemahaman ini tidak adil bagi perempuan. Karena membatasi ruang gerak perempuan. Pemahaman ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia dan juga praktik Rasululullah. Penafsiran seperti ini dipengaruhi oleh pemikiran dan budaya patriarki. Yaitu budaya yang mengedepankan dan mengutamakan laki-laki atas perempuan. Banyak sekali landasan normatif dalam Al Qur’an dan Hadits dan kitab suci lainnya yang mendorong laki-laki dan perempuan untuk berbuat amal sholeh di ruang publik dan domestik
Bahkan dalam fakta sejarah menunjukkan peran-peran publik yang dilakukan oleh perempuan. Misalnya, Siti Hajar berjuang bertahan hidup, Siti Khodijah berniaga dan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, dan Aisyah seorang yang cerdas banyak bertemu para sahabat untuk menyampaikan hadits-hadits yang didengar dan dilihat dari sumainya, Rasulullah. Sekali lagi fakta sejarah yang tidak dapat kita ingkari. Para pengukir sejarah ini jelas menggunakan suaranya dalam menjalankan aktivitsnya untuk berkiprah di dunia publik.
Berdasarkan landasan normatif, fakta sejarah dan juga data-data penelitian yang sudah disebutkan, jelas menginformasikan bahwa suara perempuan dapat mencerahkan dan membawa kebaikan. Karena itu, tidak semua suara perempuan itu aurat atau juga tidak semua suara laki-laki itu bukan aurat. Artinya baik laki-laki maupun perempuan yang memanfaatkan anugrah SUARA yang diberikan oleh Allah SWT, demi kebaikan, pencerahan, dan membawa rahmat di muka bumi ini, maka bukanlah aurat.
Sebaliknya baik laki-laki ataupun perempuan yang menyalahgunakan anugerah “suara”-nya untuk hal-hal keburukan, seperti merayu yang bukan pasangan sahnya, untuk menghipnotis seseorang untuk keuntungan ekonomi dan aktivitas buruk lainnya, maka suara itu dapat dikatakan sebagai aurat.
Semoga kita akan dapat memaksimalkan anugerah suara yang diberikan Tuhan kepada kita untuk membawa rahmat bagi seluruh alam, bukan untuk melaknat suara indah yang dirangkai oleh perempuan guna misi pencerahan, aamin.
Artikel ini telah dimuat di IBTimed.id pada 9 April 2020: https://ibtimes.id/suara-perempuan-bukan-aurat/