Kebijakan Negara dan Ormas yang menganjurkan ibadah shalat Tarawih di rumah karena adanya Covid 19, menimbulkan persoalan bagi keluarga yang tidak mempunyai imam yang kaya hafalan surat pendeknya. Bisa juga sih Kepala Keluarga, sang ayah/suami menjadi imam dengan 3 surat pendek yang dihafalnya diulang-ulang di 13 rekaat yang dilakukan sebagai kombinasi sholat Isyak, Tarawih dan Witir (11 rekaat).
Namun pasti hal itu dimungkinan akan membosankan jamaahnya, apalagi bagi keluarga yang memilih 21 rekaat. Nah pertanyaannya jika ada anggota keluarga lain baik anak ataupun istri/ibu yang kebetulan lebih kaya hafalannya dan lebih fasih bacaannya daripada ayah/suami, apakah mereka lebih berhak jadi imam di keluarganya selama pandemi Covid 19 ini? Untuk menjawabnya, tulisan ini akan membahas perdebatan syarat imam shalat di kalangan para ilmuwan, ahli tafsir dan para fukaha.
***
Bagi banyak kalangan bicara imam shalat perempuan atas laki-laki dewasa shocking dan berfikir bahwa itu suatu yang tidak perlu dipikirkan (unthinkable). Namun bagi kalangan yang beragumentasi bahwa Islam itu agama adil yang ditandai dengan tidak ada pembedaan laki-laki dan perempuan termasuk dalam hal hak dalam aktivitas ritual, maka perbincangan masalah kebolehan imam shalat perempuan atas laki-laki perlu digali.
Sejak akhir 1990an kelompok ini sudah membincangkan dan menghasilkan penafsiran baru. Namun demikian peningkatan jumlah imam shalat perempuan atas laki-laki dewasa tidak terlihat, bahkan cenderung hanya ada dalam wacana. Dalam penelitian yang saya lakukan walaupun ada yang setuju dengan imam shalat perempuan atas laki-laki dewasa, namun dalam realitasnya perempuan yang mempunyai kelebihan ilmu agama dan lebih fasih serta lebih banyak hafalannya, tidak menjadi imam di rumahnya dikarenakan mempertimbangan aspek psikologis suaminya.
Terkadang sesuatu yang shahih dan valid tidak serta merta otomoatis dilaksanakan dalam kehidupan nyata, karena ada local wisdom dan juga relasi yang harus dijaga. Toh walaupun sang istri tidak jadi imam di keluarga (karena lebih memenuhi syarat), sang suami juga tidak pernah melihat istrinya nomer dua di rumah, tetapi mereka melihat semua anggota keluarga nomer satu dan keluarga dapat dipimpin secara kolektif kolegial atau bersama.
***
Perdebatan tentang boleh tidaknya perempuan sebagai imam bagi laki-laki dewasa, didasarkan atas beberapa hadis yang melegitimasi, menentang, dan netral.
Di antara hadis yang melegitimasi adalah sebagai berikut: “Nabi Muhammad terbiasa mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya, beliau memilihkan Ummu Waraqah muazin dan memintanya untuk menjadi imam shalat bagi keluarganya di rumahnya. “Abdurrahman berkata, muazin adalah orang yang lebih tua” (Sunan Abu Daud Juz 1).
Sedangkan hadis yang tidak setuju adalah: “Dari Jabir bin Abdillah dari Rasulullah, beliau bersabda “Janganlah pernah memilih perempuan menjadi imam shalat untuk laki-laki, Arab Badui untuk kaum Muhajirin, dan orang jahat untuk orang-orang beriman” (HR Ibnu Majah).
Landasan normatif syarat imam yang netral tidak berdasarkan jenis kelamin tetapi lebih pada kualifikasi adalah sebagai berikut: Abu Mas’ud al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Hendaklah menjadi imam seorang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya, jika mereka sama dalam bacaan hendaklah menjadi imam seorang yang paling memahami sunah, jika mereka semua sama dalam sunah hendaklah menjadi imam seorang yang terdahulu hijrahnya, hendaklah menjadi imam seorang yang terdahulu keislamannya, janganlah seorang laki-laki menjadi imam dalam kekuasaan laki-laki lain dan tidak duduk di tempat kehormatannya di rumahnya kecuali dengan izin darinya (HR. Muslim).
Para ulama dan ilmuwan menginterpretasikan teks-teks ini secara berbeda, banyak yang sepakat bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin bagi laki-laki maupun perempuan dalam konteks kegiatan umum, dan sangat sedikit yang sepakat bahwa perempuan boleh menjadi iman shalat bagi laki-laki.
Ilmuwan dan ulama yang cenderung tekstual, berargumen bahwa laki-laki memiliki status lebih tinggi dibanding perempuan karena dia kepala keluarga dan lebih mampu dibanding perempuan. Baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an surat An-Nisa’ (4) ayat 34 dan dalam sebuah hadis populer yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa “tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada wanita” (Bukhari, Shahih Bukhari Jilid II-juz 4) dan juga hadis yang melarang perempuan menjadi imam.
***
Selain itu, dalam sejarah dalam periode awal Islam, tidak ada contohnya perempuan menjadi pemimpin dalam shalat berjamaah yang terdiri dari jamaah campuran laki-laki dan perempuan. Mereka mempelajari hadis Ummu Waraqah dan menyimpulkan bahwa hadis yang mengatakan bahwa Ummu Waraqah dipilih oleh Rasulullah Muhammad untuk menjadi imam shalat bagi keluarganya adalah tidak sahih dan tidak dapat digunakan sebagai landasan (hujjah) dibolehkannya perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki aqil baligh.
Sedangkan ilmuan dan ulama progresif memahami dalil-dalil kepemimpinan tersebut sebagai hujjah bahwa perempuan memiliki hak menjadi pemimpin, bahkan dalam ibadah keagamaan seperti shalat. Sa’di Husain Ali Jabar dalam Kitabnya “Fiqih Imam Ibn Tsaur” mengeksplorasi bahwasanya menurut imam Ibn Tsaur wanita sah menjadi imam shalat atas laki-laki secara mutlak.
Menurut Zaetunah Subhan dalam bukunya Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, mengatakan bahwa hadis yang melarang yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, lebih lemah dibandingkan hadis yang membolehkan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Perowi dalam hadis yang melarang yaitu, Abdullah bin Muhammad al-‘Adawi tidak dikenal, sedangkan perowi Walid bin Jumai’ dalam hadis yang membolehkan ada ulama yang menerima dan ada yang menolak kredibilitasnya.
Karena itu sebagian ulama progresif tidak dapat menggunakan kedua hadis tersebut sebagai landasan hukum. Mereka menggunakan hadis yang netral yang menyebutkan “Hendaklah menjadi imam seorang yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya…” ini adalah hadis shohih yang dapat digunakan sebagai landasan hukum. Karena itu, bagi kelompok progresif, siapaun laki-laki atau perempuan, anak atau orang tua asal dia lebih mempunyai bacaan Al Qur’an yang bagus dan juga lebih mempunyai pemahaman agama yang baik, maka dia memenuhi syarat imam sholat. Persyaratan penting untuk menjadi imam, terlepas dari persoalan gender, adalah memiliki pengetahuan agama dan mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil.
Tahun 2010, Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakan diskusi nasional mengenai persoalan ini di Malang, Jawa Timur, di mana para pesertanya sepakat bahwa dalam kondisi tertentu (misalnya, ketika di wilayah terpencil atau ketika seorang suami merupakan muallaf), maka perempuan yang mampu dan memiliki pengetahuan agama yang baik dapat bertindak sebagai imam shalat bagi laki-laki dewasa jika tidak ada laki-laki dewasa yang mampu dan memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Memang sampai saat ini, keputusan ini belum ditanfidz oleh PPM karena belum selesai proses editing-nya.
Kembali pada persoalan imam tarawih di rumah selama Covid 19. Yang mana, jumlah rakaatnya lebih banyak dari pada shalat fardhu, maka jika ada keluarga yang memilih pendapat progresif maka sebenarnya hal itu juga sudah dibicarakan di persyarikatan dan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, asal dilaksanakan dengan cara yang ma’ruf dan tetap menjaga harkat dan martabat semua anggota keluarga, termasuk sang ayah/suami yang mungkin di beberapa keluarga lebih sedikit hafalannya dan kurang fasih bacaannya.
Semoga puasa kita tetap penuh makna walaupun tarawih di rumah, aamin.
Artikel ini telah dimuat di IDTimes.id pada 28 April 2020: https://ibtimes.id/bolehkah-perempuan-menjadi-imam-shalat-tarawih-di-rumah/