Kasus kekerasan seksual hadir seperti gunung es. Tidak banyak yang melapor karena secara hukum hanya sekitar 22% yang diangkat ke pengadilan.
Belum lagi diketahui selama pandemi kekerasan berbasis siber meningkat 300%. Padahal kita tahu bahwa kekerasan seksual memberi dampak sangat serius. Namun pembuktiannya sangat susah dengan mengandalkan kebijakan atau aturan yang saat ini.
“Dari kajian dan pantauan Komnas Perempuan tidak mudah bagi korban kekerasan seksual untuk melapor karena korban itu trauma, kehilangan harga diri, mengalami perendahan martabat serta berbagai macam bentuk stigma yang diperoleh dari lingkungannya serta tidak mendukung korban untuk mendapatkan keadilan,” Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan pada kegiatan Talkshow Perlindungan, Penanganan, dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual dalam Perspektif Islam, Kamis (28/1).
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) Pusat ini juga mengatakan dari kasus yang ada pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan, dan kepercayaan korban kepadanya dan juga seing dihubungkan dengan aib atau atas nama baik.
“Termasuk banyak di lembaga pendidikan yang belum punya mekanisme pananganan penanggulangan kekerasan seksual dengan komprehensif. Yang ada pun masih ragu-ragu dijalankan,” kata Alim.
Karenanya, penting untuk terus menggaungkan anti kekerasan seksual karena kasus ini masih menjadi PR bagi negara ini. Salah satu upaya yang coba dilakukan adalah dengan adanya RUU-PKS. Dalam ajaran agama pun kita diajarkan untuk melakukan kebaikan.
Maka, sejalan dengan itu sudah seharusnya kasus kekerasan seksual dientaskan. Mengesahkan kebijakan penting untuk membantu para korban kekerasan seksual.
Diterbitkan pertama kali di https://muhammadiyah.or.id/sudah-waktunya-menghentikan-kasus-kekerasan-seksual-yang-kian-meningkat/