Buya Syafii, melalui pemikiran yang tertuang dalam sejumlah bukunya, merupakan pejuang kesetaraan jender. Buya Syafii banyak menggunakan landasan normatif dalam Al Quran dalam membincangkan isu kesetaraan jender.
Bagi saya dan mungkin juga banyak pengagumnya, Buya Syafii adalah feminis Muslim Indonesia. Feminis adalah seseorang yang menyadari ada persoalan perempuan dan berusaha menyelesaikan persoalan itu sehingga kehidupan perempuan menjadi lebih baik.
Pemikiran Buya Syafii tentang kesetaraan jender dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (hal. 177-188) tertulis apik, jelas, dan argumentatif melegakan gerakan feminis di Indonesia, khususnya feminis Muslim di Indonesia. Beliau menuliskan bahwa sebuah kecelakaan sejarah, selama berabad-abad kaum perempuan dalam komunitas Muslim tidak dihargai dan dihormati sebagaimana mestinya. Buya mengutip Riffat Hasan dan juga Yunahar Ilyas, tentang direnggutnya hak-hak perempuan selama ratusan tahun dengan menggunakan dalil agama yang dipahami secara tidak benar, dan harus dikembalikan melalui perjuangan yang berliku dan berat.
Terlihat sekali gejolak jiwa Buya Syafii dalam menuliskan nasib perempuan yang terenggut hak-haknya, misalnya beliau menuliskan: ”Jiwa saya mendidih membaca perlakuan keji terhadap perempuan (perlakuan pemerintah Taliban yang melarang perempuan menuntut ilmu) dengan memakai teks agama lagi, karena mereka adalah jenis ibu yang saya muliakan. Siapa di antara tuan dan puan yang mau jenis ibunya diperlakukan serendah itu dalam lingkungan patriarki yang menidas?” (hal. 185).
Seperti tulisan-tulisan lain pada umumnya, Buya Syafii banyak menggunakan landasan normatif dalam Al Quran dalam membincangkan isu kesetaraan jender. Misalnya, Buya mengutip QS Al-Nahl ayat 97, yang menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya dalam beramal sholeh. QS Al Hujarat ayat 13, yang menegaskan bahwa orang yang paling mulia adalah orang yang bertakwa.
Beliau menjelaskan bahwa ayat ini mengajarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, siapa pun yang berusaha keras akan mencapai ketakwaan. Selain itu, beliau juga mengkaji tentang penciptaan manusia dan beliau tidak setuju dengan penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki karena hal itu tidak ada dalam Al Quran.
Manusia merdeka
Secara mendasar, beliau menyampaikan bahwa pendidikan yang benar pasti akan melahirkan manusia merdeka laki-laki ataupun perempuan. Islam adalah agama yang memerdekakan manusia dalam maknanya yang sejati. Perlakuan laki-laki terhadap perempuan telah merenggut hak kemerdekaan perempuan yang tidak jarang menggunakan dalil-dalil agama. Laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah, dan kedua jenis kelamin ini tidak harus ada perantara untuk berhubungan dengan Allah. Perlakukan diskriminatif yang berakar kepada kultul patriarki harus dikubur untuk selama-lamanya.
Selain itu, sebagai sejarawan yang kritis, Buya sangat detail dalam memahami peran Khadijah Binti Kuwailid, Istri Rasulullah, dalam awal kenabian yang melindungi dan menghibur Nabi di saat-saat sulit. Beliau mendekap Nabi di saat menggigil mengalami teror. Nabi tidak berpoligami saat bersama Khadijah. Refleksi kritis Buya Syafii pada isu ini menunjukkan bahwa peran perempuan terhadap gerakan dakwah pencerahan di awal perjuangan Islam sangat penting sehingga sangat tidak layak untuk merendahkan perempuan.
Perlakuan laki-laki terhadap perempuan telah merenggut hak kemerdekaan perempuan yang tidak jarang menggunakan dalil-dalil agama.
Selain dalam bentuk pemikiran, Buya Syafii dalam kehidupan sehari-hari juga mengimplementasikan nilai-nilai kesetaraan jender. Beliau dapat disebut sebagai suami idaman karena keterlibatannnya dalam tugas-tugas pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, menyetrika, belanja, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Sebagai seorang tokoh yang antidiskriminasi, beliau juga men-support saya untuk mendaftar menjadi komisioner Komnas Perempuan. Beliaulah salah satu tokoh yang memberikan surat rekomendasi kepada saya untuk berkiprah secara nasional di luar ’Aisyiyah dan Muhammadiyah. Dukungan ini wujud dari implementasi konsep kesetaraan jender dalam kehidupan nyata.
Di akhir tulisan, beliau dalam menyoal status perempuan dalam Islam ada nasihat menarik bagi kaum laki-laki dan juga bagi feminis Muslim, ”Kaum laki-laki harus bersyukur mengamati perkembangan ini (kemajuan perempuan), dan tidak perlu khawatir bahwa perempuan akan mendominasi mereka selama Al Quran yang dijadikan rujukan utama. Kedua jenis ini adalah mitra yang setara dalam mengurus kepentingan publik dan masalah-masalah sosial kemanusiaan lainnya”.
Terakhir pemikiran-pemikiran beliau pada isu-isu jender perlu dikawal secara terus- menerus dalam dataran praktis, sebagaimana selalu beliau sampaikan bahwa jangan berhenti pada moto dan jargon, tetapi harus fungsional dan dapat dipraktikkan. Memahami Al Quran harus dari jarak dekat dan dapat menjadi sahabat Al Quran.
Beliau menekankan bahwa Al Quran tidak punya tangan dan kaki, dan kita-kitalah yang dapat menjadi tangan dan kaki Al Quran sehingga idealisme Islam yang rahmatalil’alamin, Islam yang menjadi wasit peradaban manusia (Ummatan Wasathon) dan juga Islam yang Khairo Ummah dapat terwujud. Jangan sampai ada gap yang terlalu lebar antara idealisme keislaman dalam Al Quran dan keislaman yang dipraktikkan Nabi dengan realitas yang ada.
Semoga kami dapat meneladani beliau sang feminis Muslim Indonesia, Prof Dr Buya Ahmad Syafii Maarif, yang wafat pada 27 Juni 2022, semoga husnul khatimah Lahul Fatehah, Amin.
Dipublikasikan pertama kali di https://www.kompas.id/baca/opini/2022/06/15/buya-feminis-muslim-indonesia