Berita Blog

Cerita Alimatul Qibtiyah, Gagal Jadi Baby Sitter Kini Jadi Guru Besar UIN

Oleh: Galih Priatmojo & Mutiara Rizka Maulina

Hujan yang mengguyur sebagian besar kawasan Jogja semalam membuat udara pagi ini terasa sejuk. Kumpulan awan masih berderet di langit, membuat cahaya matahari tak sepenuhnya menyinari jalanan.

Mengenakan daster warna coklatnya, Alimatul Qibtiyah tengah membersihkan sisa tanah yang terbawa hujan di teras rumahnya. Tak berapa lama, perempuan yang akrab disapa Alim tersebut datang menyapa tim SuaraJogja.id sambil membawakan secangkir teh hangat.

Sambil membetulkan letak sejumlah catatan dan buku yang terserak di atas meja, Guru Besar Kajian Gender Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mulai bercerita tentang asal usulnya.

Anak ke lima dari sembilan bersaudara ini dibesarkan oleh ayahnya yang merupakan seorang penghulu, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga. Sejak usia lima tahun, ia tinggal dan besar di keluarga pamannya. Saat kecil, ketika kedatangan paman dan bibinya itu, Alim disebut merengek meminta ikut hingga akhirnya tumbuh besar di sana. Kedua paman dan bibinya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil.

Meski memiliki sembilan bersaudara bukanlah hal yang luar biasa ketika itu, namun sejak kecil ayahnya sudah menyampaikan jika anak-anaknya ingin bersekolah, ia hanya sanggup membiayai hingga jenjang SMA. Ketika itu, Alim mengaku tidak memiliki harapan untuk dapat berkuliah meskipun diam-diam ia memiliki mimpi untuk bisa menjajal bangku pendidikan setinggi-tingginya.

Meskipun ia ikut tinggal dengan pamannya, istri dari Susanto ini mengaku banyak menerima bantuan dari orang yang juga ia panggil bapak tersebut. Namun, Alim mengakui juga bahwa saat itu kondisi keuangan pamannya terbatas.

Gadis kelahiran 19 September 1971 ini menjalani pendidikan menengahnya di PGA Madiun, ia tinggal di rumah kost-an karena keluarga pamannya menetap di Ngawi.

Setiap bulan, Alim menerima uang sebesar Rp2500 untuk memenuhi kebutuhannya. Mulai dari membayar SPP, membayar uang sewa kamar dan kebutuhan lainnya.

Sebagai seorang anak yang aktif di berbagai kegiatan, Alim mengakui membutuhkan tambahan uang untuk menunjang beragam aktifitasnya. Akhirnya, ia mencoba menjajakan beragam makanan ringan kepada teman sekolahnya dan menjadi guru ngaji untuk menambah pendapatan.

Ketika lulus dari PGA Madiun, perempuan yang baru saja menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan ini diumumkan memiliki nilai terbaik kedua dari satu sekolahnya. Ketika paman yang membesarkannya hadir, ia mengungkapkan bahwa sayang jika kemenakannya itu tidak bisa melanjutkan pendidikan hingga kuliah.

Namun, keadaan dan himpitan ekonomi menjadi kendala terbesar terwujudnya harapan tersebut. Beberapa hari setelah kelulusan, Alim didatangi oleh Bibinya dari Solo yang menawarinya menjadi baby sitter di Amerika. Mendengar kabar tersebut, Alim sempat kegirangan seolah bisa menghibur kekecewaan karena tidak bisa melanjutkan kuliah.

Bersama dengan bibinya, ia lantas pergi ke Solo untuk mengurus surat-surat yang dibutuhkan termasuk Visa. Alim juga sudah berpamitan ke teman-temannya melalui secarik surat bahwa ia akan merantau ke Amerika. Bibinya bahkan membelikan Alim selimut dan mukena baru sebagai bekal.

Namun, setelah terbang ke Solo untuk megurus Visa, ternyata ia tidak diijinkan pergi ke negeri Patung Liberty tersebut. Sebab, untuk mengirimkan seorang baby sitter ke Amerika dianggap seperti melakukan perdagangan manusia yang harus bekerja selama 24 jam penuh. Meski gagal, namun Alim mendapatkan ganti rugi Rp 50.000.

Alim mengenang masa lalunya itu, sambil melanjutkan bahwa ia kemudian memutuskan untuk kembali ke Madiun mengambil ijazah di sekolahnya. Ternyata, pamannya juga pergi ke Madiun untuk mengambil ijazah Alim. Teman-teman sekolahnya sudah menangis membaca surat perpisahan dari gadis yang gemar beorganisasi itu.

Selain ijazah, ia juga membawa sepeda kayuhnya yang tertinggal di Madiun. Menunggangi sepedanya tersebut, Alim menempuh perjalanan dari Madiun ke Ngawi. Di rumah pamannya ia menjelaskan bagaimana ia gagal pergi ke Amerika.

Nekat ke Jogja

Setelah itu, Alim masih kembali ke Solo untuk menyelesaikan beberapa urusan administrasi. Sambil membawa ijazah dan sisa uang ganti rugi, Alim teringat saat pelepasan siswa kelas 3 di sekolahnya ada kakak kelas yang menjelaskan mengenai berkuliah di Jogja.

Meski belum mengenal betul tentang seluk beluk kota yang berjuluk Kota Pendidikan itu, Alim nekat naik bus dan duduk di belakang supir dengan harapan bisa melihat plang selamat datang Jogja untuk mengetahui apakah ia sudah sampai di tujuan atau belum.

Di perjalanan, ia heran melihat orang-orang turun saat kenek bus menyebut kata Janti. Akhirnya ia ikut turun, sambil celingak celinguk melihat kondisi sekitar.

Kerudung yang ia kenakan, membuat tukang becak mengira dirinya akan pergi ke IAIN (Saat ini UIN). Lantaran terlihat bingung, Alim lantas dibantu untuk mencari kendaraan yang mengantarkannya ke UIN.

Tiba di bangunan perguruan tinggi negeri itu, Alim tidak mengetahui apa-apa saja syarat yang diperlukan untuk mendaftar, ia lantas bertanya pada seorang pria yang turun dari bus bersama dirinya. Dokumen yang semula ia gunakan untuk mengajukan visa ia copoti untuk digunakan mendaftar UIN. Ia juga mengeluarkan uang sebesar Rp20.000 untuk melakukan pendaftaran.

Sebelum mengikuti ujian masuk, Alim sempat pulang untuk memberikan kabar kepada orangtuanya bahwa putrinya mendaftarkan diri sebagai mahasiswi IAIN. Setelah mengikuti ujian masuk dan dinyatakan diterima, Alim membutuhkan uang senilai Rp 152.000 untuk membayar biasa masuk. Masih segar di ingatannya bagaimana ibunya mengayuh sepeda ke tempat yang jauh guna menjual gelang dan cincin untuk mengumpukan biaya perkuliahan putrinya.

Selama dua minggu mengikuti masa orientasi, ia dititipkan ke rumah seorang keponakan dosen UIN yang merupakan kenalan dari atasan pamannya.

“Setelah dua minggu itu saya kemudian dapat kosan. Yang mana, kosan itu sudah lama tidak ditinggali. Dindingnya berlumut dan ranjangnya cuman papan kaju biasa gitu,” tutur Alim dengan wajah serius.

Berhasil bertahan hidup dalam kekurangan selama kuliah, Alim berfikir untuk tidak lama-lama menyelesaikan studi strata satunya itu. Hasilnya, Alim berhasil menjadi lulusan terbaik se-Fakultas Dakwah IAIN Yogyakarta.

Setelah kelulusannya di tahun 1995, Alim mencoba peruntungan mendaftar sebagai dosen di IAIN pada tahun 1996. Setelah berhasil melewati 5 kali tes menjadi tenaga pengajar, Alim diterima untuk kemudian bekerja di bidang Tata Usaha terlebih dahulu.

Berangkat ke Amerika Serikat

Merasa tidak sesuai untuk bekerja sebagai pegawai tata usaha, Alim lantas mendaftarkan diri menjadi mahasiswa S2 di bidang Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama sang suami. Pasangan pengantin baru itu sempat pontang-panting mencari beasiswa namun berujung nihil.

Namun, masalah ekonomi tak menghentikan langkahnya yang kemudian menerima beasiswa dari kerjasama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Agama. Beruntung, Alim menjadi salah satu dosen pertama yang menikmati fasilitas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana.

Selesai menjalani pendidikan dalam kurun waktu yang tidak lama, Alim mengaku pernah menerima cemooh bahwa sebagai lulusan Fakultas Dakwah ia tidak akan bisa pergi ke luar negeri. Berusaha mengubah cemooh itu menjadi suatu hal yang positif, Alim kemudian memiliki target untuk bisa belajar di negara orang. Kebetulan saat itu UIN Yogyakarta dan UIN Jakarta tengah memiliki program kerjasama untuk mengirimkan dosen-dosen muda belajar di Kanada.

Namun, karena nilai bahasa Inggrisnya yang belum memenuhi, Ibu dari Ahabullah Fakhri Muhammad ini harus mengikuti kursus bahasa inggris di Bali selama sembilan bulan. Berhasil lulus dengan nilai IELTS antara 5.50 hingga 6 sayangnya terjadi perubahan persyaratan dari penyelenggara beasiswa.

Gagal pergi ke Kanada, Alim kembali mengikuti kursus bahasa Inggris untuk menambah nilainya. Sembari meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya, Alim mencoba mendaftar beasiswa Fullbright ke Amerika.

“Jadi 13 tahun kemudian, dari yang awalnya mau jadi babysister menjadi penerima fullbrighter,” terang Alim dengan bangga.

Bisa melanjutkan pendidikannya di University of Northern Iowa di Amerika perasaan Alim sudah tidak terbendung lagi. Rasa suka cita dan bahagia karena akhirnya bisa mencoba tinggal di negara orang memenuhi hatinya. Demi menuntaskan pendidikannya di bidang Women’s Studies, ia sempat menjalani hubungan jarak jauh bersama dengan suami dan anak pertamanya. Ketika itu, kondisi keuangannya dan suami masih dalam tahap memperjuangkan kehidupan yang nyaman untuk keduanya.

Satu semester, menjalani masa kuliah Alim kembali ke Indonesia, ia menawari pasangan hidupnya itu untuk datang dan tinggal di Amerika. Ada beberapa hal yang ia sampaikan pasti tercapai jika suaminya itu mau pindah dan bekerja di Amerika. Siapa sangka, semua hal yang sempat ia imingi-imingi ke suaminya dapat tercapai saat kembali ke Indonesia. Dari yang menargetkan membawa pulang 12.000 USD mereka berhasil membawa uang tabungan sebesar 23000 USD.

Dengan uang tersebut, mereka berhasil membangun rumah impian dengan desain yang terinspirasi dari tempat tinggal mereka di Amerika. Dengan konsep open house, tidak banyak sekat yang membatasi setiap ruangan di tempat tinggal mereka. Tidak hanya berhasil menjalankan studi berdampingan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangganya, selama di Amerika, ia juga melahirkan putra kedua bernama Acedewa Fairuzihan.

Beberapa tahun kemudian, Alim kembali melanjutkan pendidikan S3-nya di Western Sydney University, Australia. Tidak jauh dari disiplin ilmu yang diambil sebelumnya, kali ini ibu dari Ahdan Finley Brisbantyo mempelajari tentang Contemporary Muslim Study.

Guru Besar dan Komisioner Komnas Perempuan

Selesai menjalani pendidikan S3-nya ia kembali ke UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk mendaftarkan diri sebagai Kepala Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Gagal jadi Kaprodi, Alim justru berhasil menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Sementara tahun lalu, baru saja mendapatkan jabatan baru sebagai Komisioner Komnas Perempuan. Ia berhasil meraih posisi itu setelah melakukan 4 seleksi melawan 300 kandidat lainnya.

Bagi dosen yang hobi mengenakan kalung sebagai hiasan di atas kerudungnya ini semua pencapaian yang ia dapatkan di waktu yang tepat. Semuanya sesuai dengan usaha yang ia kerahkan selama ini. Seperti ketika diliputi kesibukan menjalani pendidikan di luar negeri, Alim tetap memperhatikan jenjang kenaikan jabatan di universitas tempatnya mengajar. Sehingga ia tidak hanya menjalani kemajuan secara teoritis dari segi keilmuan namun juga kemajuan di bidang aktivitasnya sebagai komisioner Komnas Perempuan.

“Jadi saya selalu punya buku-buku kecil berisi harapan saya. Seperti tahun ini bismillah membawa manfaat mengabdi di komnas,” tutur Alim.

Salah satu rahasia kecil ibu tiga anak ini berhasil meraih berbagai posisi dalam hidupnya adalah buku kecil yang ia miliki selama lima tahun terakhir. Buku diary itu berfungsi sebagai media untuk menuliskan target-target tahunannya. Sejauh ini, ia menilai keberadaan buku tersebut bekerja dengan baik, hal-hal yang ia harapkan dapat terwujud sesuai bentang waktu yang diharapkan.

Bersamaan dengan diterimanya Alim sebagai komisioner komnas perempuan, persyaratannya untuk menyandang gelar profesor di bidang kajian gender juga diterima. Dua bulan kedepan, ia akan segera dikukuhkan sebagai guru besar di bidang kajian gender. 

Bercadar hingga jilbab modis

Perkenalan Alim dengan dunia gender berawal dari aktifitasnya di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PPI) saat menempuh pendidikan strata satunya. 

Dalam perjalanannya, menjadi Alimatul Qibtiyah yang saat ini dikenal sebagai aktivis perempuan pernah bergabung dengan kelompok islam yang menyampaikan bahwa perempuan harus mau dipoligami. Selama menjalani pendidikan starta satunya, Alim rutin mengikuti beragam pengajian setiap harinya. Ia belajar dari banyak orang yang kemudian membentuk siapa dirinya saat ini.

Saat kuliah di IAIN, Alim pernah menjadi seorang muslimah yang mengenakan gamis dan cadar. Dari berbagai pengalaman hidup dan pencarian dirinya, ia berubah menjadi sosok yang sangat modis dalam berpakaian. Jika sebelumnya, ia merasa akan masuk neraka jika satu helai rambutnya terlihat, kini Alim merasa cukup nyaman menyapu halaman rumahnya tanpa mengenakan kerudung meskipun banyak tetangga laki-laki yang berlalu lalang.

“Iya sekarang nyapu depan rumah tetangga lewat anak kos lewat biasa saja, dan saya tidak merasa itu berdosa. Selama saya masih punya otonomi terhadap tubuh saya dan saya paham asbabul nuzul dan historical storynya,” terang Alim.

Bagi Alim, jilbab adalah sebuah simbol kebebasan tubuh mana yang ingin ia tutup. Dimana rasa kebebasan itu terpengaruh dari nilai-nilai yang ia anut dan beragam teori yang ia pelajari dan dengan siapa ia bergaul. Dulu, jilbab adalah pakaian agama baginya, namun saat ini jilbab lebih kepada pakaian budaya dan identitas yang membuatnya merasa berdosa secara sosial jika tidak mengenakannya.

Meski tidak memiliki pengalaman pribadi yang secara spesifik berhubungan dengan kajian gender. Namun kisah dari kakak perempuan yang sebelumnya memberikan kado alat ketik untuknya menjadi pelajaran penting bagi Alim. Ketika kondisi keluarga kakaknya dilanda masalah ekonomi, kakak Alim sempat memutuskan untuk kembali menjadi TKI di luar negeri meskipun sudah memiliki dua orang anak.

Sayang, saat pemeriksaan diketahui perempuan itu hamil dan batal berangkat. Stres karena masalah yang dihadapi hingga berdampak pada kesehatan ginjal kemudian mengantarkan kakaknya berpulang. Alim merasa, bahwa kakaknya merupakan korban ketidakadilan ekonomi yang membuatnya merasa agar jangan sampai ada korban-korban lainnya.

Sebagai seorang komisioner Komnas perempuan dan Profesor di bidang Kajian Gender, Alim berharap apa yang ia lakukan bisa didengar dan menjangkau lebih banyak orang. Dengan begitu, apa yang ia miliki dan selama ini ia pelajari diharapkan menjadi lebih bermanfaat untuk banyak orang.

Dengan berbagai kesibukan yang ia miliki saat ini, Alim berganti peran dengan suaminya dalam menjalankan tugas rumah tangga. Ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga, sementara suaminya menjadi ayah rumah tangga yang memiliki lebih banyak waktu dalam mendampingi tiga buah hatinya.

Meski melakukan pembagian peran yang bisa disebut beda dengan masyarakat lainnya, namun keluarga alim sendiri tidak mengalami masalah dengan hal itu. Sebelumnya, suaminya juga sudah mengisi peran untuk mencari nafkah saat Alim menjalankan peran reproduksinya.

Jarum jam menunjukkan pukul 09:00 WIB, percakapan bersama penulis buku Feminisme Muslim di Indonesia itu harus dihentikan. Ia lantas membuka layar laptopnya untuk mengikuti rapat paripurna bersama rekan-rekannya di Komnas Perempuan. 

Diterbitkan pertama kali di https://jogja.suara.com/read/2020/08/31/134706/cerita-alimatul-qibtiyah-gagal-jadi-baby-sitter-kini-jadi-guru-besar-uin?page=all

Alimatul Qibtiyah
Aktivis perempuan dan peneliti masalah gender. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan 'Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat Aisyiyah. Komisioner Komnas Perempuan. Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga.
http://genderprogressive.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *